13 May 2013

FELLING BETTER

Walpap (268)
Setelah ngubek-ngubek file lama taraaaa ketemu juga satu tulisan yang well, cukup menarik hati. Ahyaaa menarik hati, berasa dapat kalimat jadul. Udah berapa lama ya saya gak menggunakan istilah ini.

Akhirnya bisa menikmati hidup lagi setelah hampir 11 bulan ini dunia saya serasa roller coaster. Naik turun berdasarkan mood. Banyak tekanan yang akhirnya sukses bermunculan dalam waktu 11 bulan saja. Mulai dari masalah yang harus bisa ditoleransi sampai hal-hal sepele yang bikin kemarahan saya akhirnya naik sampai keubun-ubun. Gak tahu ya tapi saya hanya punya pendapat sendiri bahwa hidup itu tidak bisa diatur oleh orang lain apalagi jika kita tidak pernah memberikan akses bebas pada orang lain meskipun hanya sekedar untuk ‘menatanya'. Heran ada begitu banyak orang yang tiba-tiba merasa penting untuk mengatur hidup orang lain tanpa diminta. Merasa diri paling tahu apa yang seharusnya dilakukan lebih dari pada diri kita sendiri. Amaze aja ada orang-orang yang menjadikan kepala dan usaha orang lain sebagai batu pijakan untuk memanjakan ambisinya.

Bodoh bukan ketika kita membiarkan diri kita mengikuti aturan orang lain yang datang tanpa permisi dan langsung menjadi tuan tanah yang merintah-merintah seenak jidatnya. Semua orang, semua manusia punya kehendak bebas untuk menentukan apa yang ingin dikerjakan dengan kualitas yang pasti beda dengan orang lain. Belum tentu juga orang yang selalu berteriak dan membawa-bawa "baliho" 'i've been there for a long time' bisa bilang 'don't do that, i’ve tried so much times in this way and failed'. Well, let we look into this. Sejak kapan pengalaman pribadi orang yang belum kita kenal betul tiba-tiba bisa jadi pengalaman kita juga. Sejak kapan ada kejadian buruk akan terulang kembali jika kita melakukan hal yang sama, jika kita tidak belajar dari pengalamannya. Stupid, isn’t it? Saya menghargai bahkan sangat, orang-orang yang menjadikan hidupnya sebagai contoh nyata suatu perubahan atau kesuksesan. Lengkap dengan semua kegagalan yang mereka alami diwaktu lampau. Dengan catatan saya memberikannya akses untuk mereka menjadi 'mentor, guru atau yang lebih dekat dari itu. Namun akan terasa aneh jika tiba-tiba orang lain dengan percaya diri super poll masuk dalam hidup kita dan mulai mengatur bagaikan seorang majikan.

Saya jadi ingat. Seseorang pernah bercerita pada saya bahwa dia tidak akan pernah mau makan ikan lagi seumur hidup. Alasannya cukup sederhana: karena tuh orang pernah ketulangan dan sekarat waktu makan ikan dulu, kejadian itu sudah lama banget menurutnya. Sukses masuk rumah sakit dan dirawat beberapa hari disana. Lumayan berjuang lah antara hidup dan mati gara-gara tulang ikan itu nyangkut disaluran pernafasannya. Apakah itu berarti saya juga akan ketulangan jika malam ini makan ikan sementara dia lebih memilih daging ayam? Apakah itu berarti saya akan sekarat dan masuk rumah sakit karenanya? Kerdil bukan pemikiran seperti itu? Buat saya simple saja, saya tidak akan ketulangan, titik. Saya tidak akan sekarat, titik. Dan saya tidak akan masuk rumah sakit dan dirawat, titik. Why? Of course because i'm not him. I'm i and he is he. We’re different. Saya bisa menikmati makan ikan sekalipun tulangnya banyak. Saya bisa saja justru ketulangan makan daging ayam yang well sedikit lebih ramah tulang. So, tidak semua pengalaman buruk orang lain akan menjadi pengalaman buruk saya bukan.

Itulah dia selama 11 bulan ini. Coba mengatur hidup saya dengan segala macam permainan didalamnya dengan dalih "Saya tidak ingin kamu melakukan kesalahan yang sama dengan saya". Bahkan ketika saya sudah berada jauh darinya pun tetap saja intimidasti itu datang lewat handphone. Manusia tidak pernah puas itu, tetap saja ingin mempermainkan saya. Membuat saya merasa salah meninggalkan 'kehidupan' yang menurutnya nyaman. Buat dia, gak banget buat saya. Serasa hidup dipenjara iyaaaa. Bebas, itu yang saya rasakan. Saat ini hidup saya lebih tenang dari sebelumnya. Saya bisa mengeksplore apa yang saya mau. Bisa mengatur waktu untuk sesuatu yang lebih saya sukai. Dan yang lebih penting bisa menjadi diri sendiri. Biasanya jam segini, disana, saya sedang stress berat dengan semua tekanan yang dia berikan. Secara sengaja, mengada-adakan sesuatu yang sebenarnya gak penting. Tapi harus diselesaikan sekarang juga. Seakan-akan besok dunia bakal lenyap jika saya tidak menyelesaikan pekerjaan itu sekarang juga.

Saya memutuskan berhenti akhirnya dari ‘neraka’ itu. Saya salah. Benar saya salah mengambil keputusan waktu bergabung dengan mereka. Tidak punya sistem yang jelas, satu orang mengerjakan banyak pekerjaan sekaligus. Ambil saja hati si boss dan kamu akan dapatkan semua kemudahan dan kenyamanan berdekatan dengannya. Injak saja kepala dan harga diri orang lain dan kamu akan lihat promosi itu akan begitu cepat menghampirimu. Dan kemudian kamu berteriak dengan bangganya bahwa kamulah yang paling hebat disini sebab kepercayaan itu ada pada pundakmu. Namun sayang saya masih punya hati nurani. Dan saya bersyukur untuk itu. Hati nurani inilah yang terus menjagai keputusan-keputusan yang saya ambil. Hati nurani ini juga yang menjagai saya untuk tetap melihat orang lain sebagai manusia bukan mesin dan patung. Saya tidak bisa menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apresiasi. Saya bahkan rela mengakui kesalahan yang dilakukan oleh bawahan saya ketika semua orang hanya saling menunjuk jari mencari-cari kesalahan orang lain. Yap betul saya tidak cocok dengan tempat itu.

Senin sampai sabtu saya menghabiskan 10 sampai 11 jam disana. Terkurung dalam ruangan ac bertembok tebal dan arogan. Dan minggu masih harus ditambah dengan gotong royong dan meeting yang akhirnya membuat saya merelakan waktu ke gereja dan kebersamaan dengan keluarga. Kemudian jika saya sakit karena kecapekan dan butuh waktu istirahat -bukan dokter-, saya masih harus menghadapi pemotongan gaji karena ketidakhadiran itu. Sabar, sabar *sambil mengurut dada*, hanya itu yang bisa saya lakukan. Protes aja. Sudah saya coba. Bahkan sering tapi tetap tidak ada perubahan. Capek sendiri akhirnya dan memilih diam. Saya bukan tukang gosip. Saya tidak suka menceritakan kejelekan dengan teman lainnya. Makanya saya memilih well, jalani saja sampai batas maksimal dan i'm felling so fed up, maka saya dengan sangat senang hati melepaskan semua itu. Selesai persoalan. Dan itulah yang saya lakukan saat ini. Saya melepaskan semuanya. Apa setelah melepaskan semuanya hidup jadi lebih baik? Pasti! Sekalipun entah sudah yang keberapa kalinya hari ini handphone saya berdering tetap saya diamkan.

Kamu yang memulai semua ini silahkan bereskan sendiri. Kekacauan yang terjadi saat ini bukan saya yang memulainya tapi kamu. Saya sudah membereskan semua kekacauan yang kamu buat sebelum saya melangkahkan kaki keluar dari tempat ini. Sekarang silahkan hadapi masalah ini sendiri. Selama ini kamu selalu berdiri dibelakang saya ketika saya menyelesaikan kekacauan yang kamu ciptakan. Namun sekarang grow up man. Hadapai secara laki-laki. Kamu laki-laki bukan? Tidak pantas rasanya selalu bersembunyi di belakang punggung saya. Akhirnya saya merasa tenang sekarang dan kamu….kebakaran jenggot. Selamat menikmati haha.

Tulisan ini saya dedikasikan untuk semua orang yang telah berani mengambil keputusan paling sulit dalam hidupnya. Congratulation !!!!








08 May 2013

CERITA HARI INI

FROM IPAD 328   FROM IPAD 332Saya lahir dan dibesarkan di pulau kecil ini. Pulau yang seakan-akan berdiri sendiri dan terpisah dari pulau lainnya. Pulau yang teletak disebelah tenggara pulau Sumatera. Namun sayangnya tidak termasuk dalam jajaran pulau-pulau disekitar pulau sumatera. Pulau yang jika dilihat dari udara sangat tidak mengesankan dan cukup mampu mentautkan alis setiap orang yang melihanya. Komentar dari beberapa teman yang pernah mengunjungi pulau ini menegaskan hal itu. Mereka selalu berpikir “Apa bagusnya pulau ini, jika terlihat dari udara saja sejauh mata memandang adalah tanah merah dan kerukan disana-sini. Tenang sobat, pulau ini masih terus membangun. Pemandangan tanah merah dan cekungan disana sini hasil dari pengerukan tanah dan lain sebagainya masih menjadi pemandangan yang sangat akrab. Ya, sekitar 10-15 tahun lagi pulau ini akan penuh dengan gedung-gedung indah dan fasilitas perkotaan yang cukup memadai. Namun begitu saya lebih memilih untuk menikmati pulau ini sekarang. Selagi belum terimbas dengan modernisasi dan pengembangan tata kota yang pasti nantinya akan membuat hutan dan keindahan alami yang sekarang ada hanya tinggal sejarah. Saya lebih menyukai pulau ini apa adanya sekarang. Dengan laut yang indah dan jajaran pohon kelapa disepanjang pantai. Menikmati matahari terbenam dengan hanya duduk ditepi pantai, rasanya terbayarkan sudah semua rasa lelah setelah seharian beraktivitas. Pasir pantai yang berwarna putih dan bersih menjanjikan kedamaian dan ketenangan. Kota ini dianugerahi pemandangan alam yang luar biasa cantiknya.

Warna air laut yang sangat indah, kadang memancarkan gradasi warna hijau muda, hijau muda sekali, hijau gelap dan kuning dipadukan dengan pasir putih yang bisa terlihat jelas dari atas air. Bahkan seringkali jika alam sedang bersahabat matahari menawarkan pantulan gradasi warna biru muda, biru tua dan biru gelap pada pantai. Eksotis dan terlihat begitu seksi. Bahkan alampun mampu menterjemahkan keseksian dengan sangat sempurna. Entah dimana lagi saya bisa menemukan keindahan seperti ini. Adakalanya ketika alam sedang menawarkan awan hitam di langit. Tetap saja keindahan itu tidak pernah hilang. Keindahan itu tetap ada disana, ditengah kegelapan awan sekalipun. Perpaduan air sungai yang berwarna hijau dengan batang-batang kayu yang sengaja ditanam tidak beraturan. Ditemani dengan beberapa gubuk nelayan yang berfungsi untuk menjemur ikan. Lalu dilatar belakangi oleh bayangan gunung tertinggi dikota ini. Sempurna. Semua itu begitu indah dan alami. Saya betah berlama-lama menikmati pemandangan ini. Walaupun saat ini awan abu-abu dilangit sedang tebal, tidak melunturkan niat saya untuk tetap duduk dijembatan kayu ini. Selama bukan halilintar dan tornado yang ada didepan sana itu, saya memilih tetap duduk diam dan menikmati semua keindahan ini. Alam selalu menawarkan keindahan dengan caranya sendiri bukan. Setelah puas menikmati pemandangan itu saya beranjak. Tujuan saya sekarang bukan tempat ini. Saya tergoda untuk singgah sebentar saja. Hanya ingin memastikan tempat ini masih sama indahnya ketika saya datang waktu itu.

Saya sering, ketika berada dikota ini sengaja berkendara sendiri ke tepi pantai. Sepanjang jalan menuju pantai telah terlihat jejeran pohon kelapa dengan daun yang melambai-lambai. Pohon kelapa disini sudah seperti perkebunan. Berjejer rapi dan terawat. Hampir semua pohon kelapa itu berbuah. Saya beruntung datang dimusim panen kelapa seperti hari ini. Lihat saja buah yang ada dipohon itu begitu menggoda tenggorokan saya. Membangun kesadaran saya betapa nikmatnya duduk ditepi pantai sambil menikmati air kelapa. Buah yang langsung dipetik dari pohonnya akan memberikan sensasi rasa yang berbeda bukan, lebih segar. Well, sepertinya ide yang bagus untuk dijadikan prioritas pertama begitu saya tiba nanti. Disisi kiri dan kanan jalan sejauh mata memandang saya melihat taburan warna bunga yang indah. Merah, merah jambu, kuning, putih, orange, biru muda dan kuning. Kedepan sedikit bahkan saya bisa menemukan bunga dengan warna kelopak yang berbeda, separuh berwarna merah sedangkan sisanya berwarna putih. Entah bagaiamana cara kawin silang itu dilakukan sehingga menghasilkan sesuatu yang belum pernah saya temui seumur hidup. Jujur saja, baru kali saya melihat serentengan bunga dengan kelopak yang beraneka warna. Indah, hanya itu yang terbersit dipikiran saya. Dikanan dan kiri jalan jelas terlihat rumah-rumah penduduk dengan segala aktivitas siang hari. Ada ibu-ibu yang sedang mengangkat jemuran.Anak-anak yang berlarian dengan gembira, sepertinya mereka sedang main perang-perangan. Sementara anak-anak perempuan duduk diayunan sambil memegang boneka lusuh. Beberapa pemuda sedang menjemur ikan disamping rumah. Ada juga yang sedang duduk dipondok yang terbuat dari kayu dan hanya beratapkan jerami sambil merokok dan menikmati kopi dingin. Terlihat dari tidak adanya kepulan asap yang keluar dari gelas itu. Sementara beberapa motor terparkir disamping pondok. Oh, tukang ojek ternyata. Pemandangan ini sangat familiar bukan. Sangat bersahaja. Aktivitas yang mereka lakukan membuat otak saya dipenuhi dengan gambaran kehidupan normal para penduduk kampung. Dan itu membuat saya merasa biasa. Pemandangan seperti ini sangat mudah ditemui di daerah kecil seperti ini.

Semakin mendekati tujuan pemandangan rumah-rumah penduduk tergantikan dengan bangunan-bangunan yang lebih modern. Resort dan restoran. Walaupun beberapa restoran beratapkan jerami, tetap saja memancarkan atmosfir modern, lihat saja fasilitas internet yang tersedia buat para pengunjung membuat saya tersenyum. Bahkan ditempat seperti ini orang lebih memilih berfoto-foto ria dan mengunggahnya langsung ke jejaring sosial. Sah-sah saja. Saya melihat satu restoran yang kelihatannya sangat menyenangkan untuk dijadikan tempat beristirahat sejenak. Saya memutuskan untuk mengisi perut terlebih dulu. Setelah memesan beberapa makanan, saya sibuk memperhatikan pasangan yang sedang duduk persis diseberang sana. Menikmati kemesraan dan kebersamaan mereka. Tentu saja dengan diam-diam saya mengabadikan mereka dengan kamera. Lalu sibuk mengisi pikiran sendiri dengan cerita yang terbangun diotak saya tentang hubungan mereka. Kepo sih memang, tapi sudahlah toh saya sedang menikmati hari ini. Kapan lagi coba saya bisa berkepo-kepo ria dengan hanya melibatkan saya dan diri sendiri.

Perut kenyang, saatnya melanjutkan perjalanan ini. Saya memacu si roda empat agak lebih kencang sekarang. Tidak ada pemandangan menarik dijalan setelah ini. Paling hanya bisa melihat tanah luas dengan rumput dan jejeran batang pohon kelapa yang sudah botak. Tinggal batang pohonnya saja. Setengah jam kemudian saya tiba. Memasuki jalan setapak yang hanya cukup dilewati oleh 2 mobil. Saya menyetir dengan perlahan menghindari lubang dibeberapa badan jalan. Wajarlah musim penghujan lalu meninggalkan lubang-lubang seperti ini.

Angin sepoi-sepoi menyambut kedatangan saya. Setelah memesan buah kelapa yang langsung dari pohonnya. Saya berjalan menuju pasir putih yang sangat terawat dan bersih. Tidak terlihat satupun sampah. Sepanjang pantai sangat terawat. Saya duduk bersila dipasir putih menikmati pemandangan laut yang teduh. Matahari diatas kepala bersinar sangat terik. Membuat kulit kepala seakan-akan terpanggang oleh api. Namun itu tidak mengganggu. Sendiri, duduk disini membuat saya benar-benar bisa menikmati hidup. Mengedarkan mata disepanjang pasir putih dan melihat hamparan birunya air laut menimbulkan kedamaian dihati. Ada saat dimana saya ingin menikmati diri sendiri. Ada saat dimana saya butuh waktu untuk sendiri. Ada saat dimana saya tidak ingin diganggu oleh siapapun dan apapun. Saat-saat seperti sekarang ini. Hanya ada saya, pasir putih, pohon kelapa dengan daun yang menari kekanan dan kekiri, laut yang terbentang luas, batu-batu berwarna gelap di beberapa sisi laut dan pantai, awan biru dan putih yang bergerak entah kemana, nyanyian ombak dengan riak-riak kecil yang memecah bibir pantai, air kelapa dan pikiran yang kosong. Saya sengaja mendiamkan semua teknologi yang menemani saya dalam perjalanan ini. Saya membutuhkan keheningan. Indah sekali.

Saya mengistirahatkan kamera sejenak. Melepaskan semua isi kepala membiarkannya kosong. Membiarkan pikiran saya mengembara kemana-mana untuk menciptakan ruang yang selauas-luasnya. Membenamkan kaki saya dipasir putih. Membiarkan jari-jari kaki saya merasakan sensasi didalamya. Membiarkan tangan saya menggenggam pasir sebanyak-banyaknya, memanjakannya bermain-main dengan butiran-butiran kasar itu sejenak. Menikmati kehangatan pasir yang entah telah berapa lama terpanggang matahari. Merasakan teksturnya tanpa banyak berpikir kemudian menerbangkannya perlahan-lahan. Mata saya melihat dengan seksama ketika pasir itu mulai berjatuhan keluar dari genggaman. Mengulanginya beberapa kali. Membiarkan mata saya tetap menangkap momen sederhana ini, membiarkan memori saja yang merekam dan menyimpannya di laci yang telah tersedia khusus disana. Tangan saya bergerak menyentuh rambut menaikan keatas dan menjepitnya. Merasakan terpaan angin sepoi-sepoi ditengkuk lalu memutuskan berjalan menyusuri pinggiran pantai. Beberapa langkah kemudian saya berhenti menghadap laut. Berdiri disana membenamkan kaki diair. Membiarkan pikiran saya mengembara. Berjalan lagi, sesekali menunduk membiarkan tangan saya dibasahi riak-riak kecil berwarna putih. Melangkah lagi dan menemukan kerang. Meraihnya dan membenamkan pikiran saya disana. Diantara lubang-lubang kecil si kerang. Membiarkan mata saya menjelajahi rongga-rongga kecil itu tanpa harus berpikir dengan rumit. Ini adalah saat pribadi saya. Saat hanya saya dan diri sendiri yang bisa menterjemahkan bentuk lain dari kebahagiaan. Saat dimana saya berdiam diri. Saat bahkan logika pun tidak saya ijinkan untuk bekerja seperti biasa. Saat semuanya hanya mengandalkan intuisi dan rasa.

Keindahan pantai seringkali membuat saya terpesona. Sejak kecil pantai dan laut telah menjadi bagian hidup saya. Pantai dan laut jugalah yang menemani saya dan keluarga diujung minggu. Laut yang ditakuti oleh beberapa orang mampu membuat saya jatuh cinta. Jika pantai sedang tenang seperti saat ini semua keindahan itu memancar dengan sendirinya. Pantai didepan saya ini contohnya. Jika sedang tenang seperti sekarang ini bahkan mampu mengantarkan getaran kedamaian sampai jauh kedalam hati saya. Namun jika sedang mengamuk bahkan nyawa manusia yang jadi taruhannya. Damai sekali. Begitu tenang. Sampai mampu membuat saya dengan mudah menghentikan lalu lintas otak. Jika semua keindahan alam bergabung jadi satu didepan mata. Apalagi coba yang mampu kita pikirkan selain menikmatinya. Mata saya mengarah kedepan tertuju pada titik-titik pudar di sebelah sana. Itu adalah pulau-pulau yang biasa disewakan kepada turis-turis asing atau lokal yang membutuhkan ketenangan dan privasi. Agak kesini sedikit terdapat beberapa batu yang berdiri begitu saja. Saya sendiri tidak tahu sejarahnya bagaiamana batu-batu itu bisa ada disana. Jika air sedang pasang batu-batu itu terlihat jauh. Namun jika air sedang surut bahkan kita bisa berjalan kaki menuju batu itu. Batu-batu yang sejenis dan besar seperti itu terdapat juga dipingiran pantai. Cocok buat tempat bersantai atau leyeh-leyeh. Sayang tidak ada ayunan disana. Dengan cuaca seperti ini ayunan menjadi teman pas buat tidur sejenak.

Semua terlihat sempurna dimata saya. Pemandangan yang ditawarkan alam begitu indah saat ini. Namun angin terasa agak lain sekarang. Berhembusnya seperti lebih kencang. Musim pancaroba seperti sekarang ini rasanya sulit ya memastikan alam. Panas terik sekalipun bukan harga mati jika satu hari itu akan baik-baik saja. Tapi entah kenapa saya merasa bahwa sebentar lagi akan hujan. Entahlah kenapa saya merasa seperti ini. Alam masih baik-baik saja. Saya mengamati sekeliling. Tiba-tiba terlintas pikiran ingin tetap berada disana menikmati perubahan alam. Ingin menyaksikan jika awan cerah berubah menjadi awan hitam. Gila memang. Tapi saya ingin melihatnya jika memang perasaan saya akan perubahaan alam akan terjadi. Saya ingin menyaksikannya. Mata saya terus memperhatikan hamparan laut. Semoga ini menjadi hari terbaik saya. Tiba-tiba angin yang saya rasakan bukan lagi angin sepoi-sepoi. Lebih kencang. Sepertinya perasaan saya benar. Sebantar lagi akan turun hujan. Bukan hanya hujan tapi juga angin kencang. Kurang kerjaan memang. Saya tetap saja mematung disana. Menikmati angin yang mulai tidak biasa. Riak-riak kecil mulai berubah menjadi ombak dengan suara yang agak berisik. Saya menjauh dari bibir pantai. Sepertinya air laut mulai naik. Saya mendongak ke langit, mendapati awan biru itu telah berubah jadi putih dibeberapa tempat dan abu-abu ditempat lainnya. Kira-kira berapa lama awan abu-abu itu berubah menjadi hitam ya. Saya benar-benar ingin menyaksikannya. Saya memandang berkeliling, sama seperti tadi, tidak ada orang lain selain saya. Mata saya terus memandang awan abu-abu yang semakin lama semakin kelabu dan di beberapa bagian telah berubah menjadi gelap. Saya masih bertahan disana. Semakin lama suara ombak semakin berisik dan air naik semakin jauh. Angin pun semakin kencang. Daun-daun pohon kelapa tidak lagi melambai tapi doyong kekanan.

Jujur saja saya benar-benar terpesona dengan semua yang ada didepan mata saya. Bagaimana alam bisa berubah dengan cepat. Bagaimana semua perubahan ini bisa terjadi secara tiba-tiba. Seperti tinggal menekan tombol on/off saja. Namun kesenangan saya tidak berlangsung lama ketika seorang laki-laki dan perempuan menghampiri. Memberitahu sepertinya akan ada badai sebentar lagi dan mereka menyarankan saya untuk segera berteduh ditempat mereka. Setelah mengucapkan terima kasih saya memutuskan untuk pergi saja. Rasanya pulang merupakan jalan terbaik daripada harus berdiam disana. Dalam perjalanan pulang saya mengamati pemandangan awan hitam dan gelap disekitar saya. Saat itulah kenormalan saya seperti kembali dan berpikir apa jadinya ya jika saya tetap bertahan di pinggir pantai sementara angin mengamuk. Sekitar setengah jam kemudian alam benar-benar menunjukkan taringnya. Kilatan petir dimana-mana, suara gelegarnya sanggup membuat nyali saya menciut. Awan hitam semakin pekat. Angin semakin kencang. Semua benda ringan berterbangan. Namun tidak mengurangi konsentrasi saya menekan gas. Saya harus keluar dari sana sebelum badai mengamuk. Dan Tuhan mendengar doa saya. Badai mengamuk ketika saya telah berhasil keluar mencapai kota. Saya menepi sebentar, keluar dari mobil dan melihat kebelakang. Benar-benar bagaikan langit dan bumi perbedaannya. Disini awan terang benderang, disana awan hitam pekat.

Well, kedamaian saya akhirnya terusik juga oleh perubahan alam. Tidak masalah toh saya telah sempat menikmati apa yang ingin saya nikmati. Lepas dari semua itu, saya tetap senang. Senang karena menemukan definisi baru dari kebahagian. Menemukan cara sederhana yang mampu membawa ketenangan. Menemukan cara paling pas untuk menyendiri. Membereskan kembali file-file yang berantakan diotak saya, menyusunnya dalam laci-laci yang tepat. Kadang ketika hidup sudah terlalu melelahkan. Otak sudah tidak lagi bisa memberikan kenyamanan, saya membutuhkan waktu untuk menyendiri. Waktu dimana saya hanya tinggal menekan tombol on/off dan semua kerumitan pikiran berganti dengan kesederhanaan. “Waktu dimana hanya ada saya dan diri sendiri yang bisa menterjemahkan bentuk lain dari kebahagiaan. Saat dimana saya berdiam diri. Saat bahkan logika pun tidak saya ijinkan untuk bekerja seperti biasa. Saat semuanya hanya mengandalkan intuisi dan rasa.”