25 June 2015

LAJANG ITU PILIHAN BUKAN?

Seringkali menjadi lajang itu bukan hal yang menyenangkan. Masih melajang di usia saya saat ini adalah sebuah keputusan, sebuah pilihan. Saya memiliki isi kepala yang berbeda dari kebanyakan orang Indonesia yang menjadikan menikah sebagai satu tahapan hidup yang ‘harus-mesti-kudu-wajib’ dilewati. Seakan-akan kiamat besok datang jika diusia tertentu seorang perempuan belum menikah. Sementara yang lainnya menganggap bahwa usia normal menikah adalah 20-an. Namun tidak buat saya. Sementara perempuan lain sibuk kebakaran jenggot belum menikah diusia 30-an, saya malah tenang-tenang aja. Karena memang menikah, entah bagaimana itu, bukan prioritas dalam hidup. Jika menikah bagi kebanyakan orang adalah melangkah ke kehidupan baru. Buat saya jangan coba-coba masuk kedalamnya jika kamu belum siap. Menikah atau tidak bukan big issue yang harus dibahas dalam acara kumpul-kumpul keluarga atau kumpul-kumpul alumni. Bukan karena issue selingkuh atau kekerasan rumah tangga yang membuat saya memiliki keputusan yang menentang arus. Buat saya jika menikah hanya untuk melegalkan aktivitas seksual dan berkembang biak, well, saya tidak tertarik. Jika menikah hanya untuk status dan perubahan nama dari nona menjadi nyonya, sama saya pun tidak tertarik.

Banyak sekali pasangan yang saya kenal menikah diusia muda, kemudian memutuskan untuk pisah yang kemudian disusul dengan bercerai, pun masih diusia yang cukup muda. Saya juga punya beberapa teman yang entah bagaimana ceritanya selingkuh dengan alasan udah gak sejalan lagi alias “sekarang mahhhh udah beda visi”. Saya juga bertemu dengan beberapa kenalan yang walaupun menyandang ‘gelar’ suami namun dengan mudahnya menyatakan cinta pada wanita lain dan mengajaknya menikah dengan alasan “Kamu tuhhhh beda banget sama istri saya yang cerewet dan suka ngatur, mau gak jadi istri kedua saya”. Saya juga sering bertemu para lelaki yang tiba-tiba datang eng ing eng entah kerasukan apa menyatakan cinta didepan hidung saya & “menikahlah denganku” padahal barusan juga ketemu, dengan alasan “Waktu tadi melihatmu, saya langsung tahu kamulah jodoh yang selama ini saya tunggu-tunggu”. Tapi bukan itu semua yang membuat saya tidak ingin menikah diusia “normal”.

Gak jarang juga lho lebel “Lo lesbi” langsung ditempelkan dijidat saya. Ohhh yeah terima kasih sodara-sodara. Well, keputusan saya, pilihan saya gak ada hubungannya sama sekali dengan rasa takut atau menyukai sesama jenis. Saya menyukai laki-laki itu sudah pasti. Ada pria yang selama beberapa tahun ini membuat saya jatuh cinta. Bukankah ini bukti otentik saya cukup “normal” hehehehe. Sulit ya jika hidup dilingkungan yang mengganggap bahwa hidup adalah: lahir, remaja, dewasa, menikah, punya anak, tua meninggal. Seakan-akan nih kalo dari sederetan itu ada yang belum dilewati langsung aja sticker “lo gak normal” nempel dijidat. Terus wajib gitu kemana-mana dibahas ke-lajang-an itu.

Jika saya memilih untuk menunda pernikahan memangnya kenapa? Toh gak akan bikin dunia kiamat lebih cepat kan. Ya iyalah menikah itu seharusnya kesiapan saya mengatakan “I Do”, lalu menyiapkan diri menghadapi semua konsekuensinya. Nah coba bayangkan jika kamu bilang “I Do” Cuma karena limited time lah, desakan orang tua lah, tuntutan kenormalan lah, konsekuensi? Yaaaa tetap aja lah tanggungjawab kita. “Don’t put yourself into gambling wars. Don’t put yourself beyond your maximal limits with unreasonable thoughts”.

Setiap manusia punya pilihan. Setiap manusia punya jalan hidup yang beda-beda. Terserah kalo kamu mo bilang jalan hidup yang kamu ambil sangat cocok untuk dirimu, tapi belum tentu untuk orang lain. Kita juga tidak bisa melawan insting, karena masing-masing kita suka atau tidak, dititik tertentu akan lebih sering memutuskan berdasarkan insting. Percaya aja padanya, dia mampu menyeleksi banyak kesalahan jika kita mau mendengarkannya. Berhentilah untuk memaksa orang lain. Jika kamu berhasil dalam pernikahan belum tentu orang lain akan mendapatkan hasil yang sama. Jika kamu gagal gak berarti juga orang lain akan selalu gagal kan. Saya belajar melepaskan diri saya dari hal-hal yang bukan urusan saya. Mau menikah diusia berapa pun seseorang, yaaaaa terserah, karena saya menyadari: “Heiiiii hidup yang dia jalani bukan hidup saya, jadi saya gak perlu terlibat dalam keputusan-keputusan atau pilihan-pilihannya. Saya juga belajar hal lainnya bahwa selama lajang atau menunda pernikahan tidak mengandung bahan peledak, saya gak perlu pusing lah berada disekitar para lajang & penunda pernikahan.



Well, bukankah lebih baik jika kita berpikiran lebih terbuka pada semua kemungkinan dan gaya hidup yang ada. Itu akan jauh lebih menyehatkan bukan?