Sedang duduk menikmati pemandangan sore di stasiun kereta api Butterworth - Penang, mata saya tertarik memperhatikan seorang lelaki tua berumur sekitar 50-60 tahunan. Berjalan tertatih-tatih sambil mengorek tong sampah yang ia jumpai sepanjang peron.
Saya mengamatinya tapi tentu saja tidak berani secara terang-terangan ketika dia sedang berjalan kearah saya. Namun ketika bapak tua telah membelakangi saya barulah dengan bebas saya mengamatinya. Ada sesuatu yang menarik disana. Baru kali ini saya menemukan pemulung di negara ini. Kemana saja saya selama ini.
Tingginya kira-kira hanya 150 cm, kulitnya coklat tua pekat terbakar sinar matahari. Memakai celana pendek dan baju kaos. Penampilannya sangat kumal dan kotor sekali. Dari tubuhnya keluar aroma yang sangat tidak menyenangkan. Mungkin akibat jarang mandi dan bergaul dengan sampah. Ketika pandangan saya bertabrakkan dengan matanya saya menemukan keputusasaan bermain disana. Sinar mata itu redup, telah kalah oleh kemiskinan. Kulitnya tidak lagi kenyal tapi telah berubah keriput, dimakan usia.
Saya menikmati pemandangan itu. Terus saya pandangi sampai sosoknya menghilang di balik tiang beton peron. Entah sedang apa dia dibalik sana. Mungkinkah menemukan sesuatu yang bisa membuat matanya berbinar. Botol bekas air mineral mungkin atau kaleng bekas minuman bersoda. Benda-benda ini sangat bernilai untuk para pemulung di negara manapun. Lewat benda-benda semacam itulah mereka masih bisa mendapatkan uang untuk sekedar mengisi perut. Mungkin tidak kenyang tapi cukup untuk bertahan satu hari lagi.
Dia telah menghilang dibalik peron. Saya mengalihkan pandangan saya pada langit. Memadang keindahan pesona Sang Khalik di waktu senja. Tapi pikiran saya tetap pada bapak tua tadi. Saya telah terpesona dengan kerja kerasnya, kegigihannya, kemauannya untuk tetap bertahan hidup meskipun kemiskinan terus menancapkan sengatnya.
Bapak tua itu berjuang untuk tetap eksis. Hanya sayangnya globalisasi dan modernisasi tidak berpihak padanya. Semakin tersingkir. Semakin menderita dengan tekanan hidup. Harga-harga yang semakin menjulang tinggi membuatnya tidak punya pilihan hidup lebih baik apalagi lebih layak. Hanya kemelaratan yang senantiasa bersahabat dengannya. Tidak adil buatnya tapi adil buat orang lain.
Terus memikirkannya, tiba-tiba saya dikejutkan oleh suara hardikan berjarak 500 m dari saya. Hardikan itu berubah menjadi keributan. Saya penasaran menolehkan kepala ke arah sumber suara. Mencari-cari penasaran. Nihil. Tapi tetap saja ribut. Sedetik kemudian dari arah kanan berlarian seekor anjing berbulu putih kumal. Anjing ini berlari dengan panik sambil menggigit plastik kresekan warna hitam. Plastik itu bergoyang terayun-ayun.
Kemudian muncullah bapak tua tadi mengejar anjing sambil menghardiknya. Semakin ribut, gaduh. Padahal hanya satu orang. Wah, pemandangan semakin menarik nih. Mata saya terbuka lebih lebar memperhatikan adegan kejar-kejaran itu. Hardikan itu semakin terdengar melengking. Taulah saya bahwa bapak tua dan anjing itu tidak sedang bercanda manis.
Sambil mengepal-kepalkan tangan bapak tua menyusul larinya anjing tak berdosa itu. Hardikan semakin kencang terdengar. Anjingpun semakin terbirit-birit berlari. Eits, tunggu dulu sepertinya ada yang tidak beres dengan adegan di depan mata ini. Ngapain coba tuh bapak nafsu banget kejar-kejar anjing kumal itu.
Sekejap saja ketidakberesan itu terjawab sudah. Anjing berlari menyelamatkan diri ke bawah gerbong usang tidak terpakai yang diletakkan berjejer *rapi jail bo*. Teronggok waspada di bawah sana anjing terus memperhatikan bapak tua. Hardikan masih berlanjut. Dari tempat saya duduk, saya bisa melihat dengan jelas apa yang dilakukn anjing. Tapi bapak tua tidak tau ada apa dibawah sana.
Anjing tetap menggigit kantong plastik hitam itu. Entah apa isinya. Hardikan semakin keras. Anjing pun gentar dan meletakkan plastik hitam ditempat yang dikiranya aman. Drama is over ! Salah, belum lagee. Bapak tua jongkok anjing pun lari menjauhi plastik hitam. Lari ke pojok gerbong usang itu. Memperhatikan gerak-gerik bapak tua. Adegan selanjutnya membuat saya terdiam miris ingin menangis. Bahkan logika pun tidak bisa menjangkau perlakuan itu.
Bapak tua itu merangkak kedalam gerbong usang mengambil kantong plastik hitam yang entah apa isinya. Menghalau anjing agar pergi dari pojok gerbong usang tempatnya berlindung. Anjing pun terusir, pergi dengan perasaan kalah. Sudah merasa aman bapak tua duduk bersandar di ujung gerbong usang, membuka plastik hitam dan mengambil sisa makanan didalamnya. Membersihkan dengan tangan kotornya, meniupnya dan memakannya.
Saya terkesima, diam seribu bahasa. Lidah terasa kelu. Ada sekat di dalam tenggorakan saya, seperti menahan sesuatu. Bukan rasa jijik. Bukan. Sekat itu adalah tangis yang tertahan. Tidak ada airmata di mata saya. Tapi ada rasa tidak terima di dada saya.
Harus sampai seperti inikah perjalanan hidup bapak tua itu. Berebut makanan dengan anjing. Padahal makanan itu pun makanan sisa yang dia temukan dalam salah satu tong sampah. Entah sudah berapa lama dia terlunta-lunta dalam kelaparan. Sehingga mati rasa ketika harus berebut makanan dengan anjing. Adilkah ? Ya adil untuk orang lain tapi tidak untuk bapak tua dan saya.
Melihat pemandangan menyedihkan itu bahkan saya pun takut untuk bersyukur atas hidup yang saya miliki. Rasanya kurang pantas bersyukur atas kemiskianan orang lain. Saya hanya berharap semoga bapak tua bisa menikmati makanan itu. Bukan hanya sekedar makan untuk kenyang.
Saya membuang pandangan kearah lain membiarkan bapak tua menikmati hidangan. Mencoba mencerna dengan hati pelajaran hidup barusan. Tetap dalam diam, alam bawah sadar saya telah merekamnya dengan jelas. Jelas sekali.