07 July 2015

BAHAGIA BUKAN EGOIS


Ada masa dimana kita sudah tidak lagi merasa nyaman dengan kondisi & situasi yang ada. Merasa stuck pada satu hal kemudian sulit menemukan jalan keluar. Bahkan hanya mampu berdiam diri disana tanpa bisa menggerakkan kaki sedikitpun.

Ada masa dimana kita sudah tidak lagi ingin melakukan perubahaan apapun, seakan semua perubahaan menjadi satu hal yang membosankan. Setiap hari yang kita inginkan hanya berdiam diri, merenung yang entah apa itu.

Ada masa dimana kenyamanan kita mulai terusik oleh hal-hal yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Namun entah bagaimana ceritanya itu terjadi & terus memaksa kita untuk memilih. Dan ternyata pilihan terbaik adalah meninggalkan semua itu dalam keadaan menjemukan seperti sekarang.

Ada masa dimana bahkan seakan-akan pikiran kita sendiri mengkhianati keberadaan diri. Mencari namun tidak pernah menemukan seperti yang selama ini kita harapkan. Hidup itu memang tidak selalu berjalan mulus kan, teorinya. Namun ketika prakteknya kita diperhadapkan pada persimpangan jalan seringkali membuat kita bingung harus merespon seperti apa. Kadang kita lupa bahwa hidup yang sedang kita jalani saat ini adalah milik kita. Sehingga dengan mudahnya memberikan akses nasib kepada orang lain. Padahal kita tahu kebahagian kita sangat ditentukan dari pilihan hidup kita. Ada saat dimana kita lebih mendengarkan orang lain dari pada kata hati sendiri. Saat dimana seharusnya kita bahagia namun kita toh masih harus memikirkan orang lain sebelum menentukan pilihan.

Keputusan selalu ada ditangan kita namun seringkali kita menyerahkan takdir kita ditangan orang lain hanya demi melihatnya bahagia. Alasannya tidak ada. Hanya ingin melakukan. Itu saja. Atau hanya karena sebuah nama baik yang perlu dijaga sampai mati. Lambat laun itu membuat kita jenuh dengan semua yang ada. Membuat kita tidak bahagia dan hidup dalam kegelisahan. Membuat kita sulit untuk move on padahal seharusnya perlu. Ketika kita bercerita mengungkapkannya pada orang lain, berharap kejujuran akan membebaskan semua jeratan yang begitu kuat itu, bahkan kata-kata tidak mampu untuk mewakilinya. Seringkali justru kita terlalu sibuk berputar-putar bertanya tentang kebahagiaan orang lain lalu lupa bahwa kita pun berhak untuk bahagia.

Kita terlalu mengutamakan kepentingan orang lain lalu mengabaikan apa yang sebenarnya baik untuk kita jalani. Manusia, selalu melakukan itu. Memberikan yang terbaik untuk orang lain lantas melupakan bahwa ego dalam dirinya pun sesekali perlu dimanjakan. Kita membuang semua cita-cita yang kita punya hanya demi sebuah senyum untuk yang lainnya. Kita menunda semua impian kita hanya untuk menyelaraskan waktu dan membuat semua kesepakatan yang pada akhirnya membuat kita menunda banyak hal. Tidak pernah berpikir untuk berhenti sejenak ketika bersimpangan jalan dengan seseorang atau sesuatu yang sebenarnya adalah kunci pencerahan yang kita cari selama ini. Jika saja waktu itu berhenti & memperhatikan sejenak, saat ini kita tidak akan menyesali apa yang terjadi. Sekian lama kita memendam rasa yang sebenarnya bisa dibayar sepuluh tahun lalu, entah apa itu namanya sampai masih harus menanggungnya hingga saat ini. Kita punya banyak pilihan, jangan pernah menutup diri lagi. Biarkan semuanya mengalir sehingga ketika tidak ada lagi cekungan yang bisa dialiri, kita tahu itulah saatnya menemukan yang selama ini kita tunggu.

Berdiri lah karena kaki kita masih mampu menopang harapan yang ada. Berlari lah untuk mengejar kebahagiaan kita, itu dia ada didepan mata. Namanya kebahagiaan. Berhenti lah berkata bahwa kita akan disebut egois jika hanya memikirkan diri sendiri.

Kamu tahu, sejak lama saya ingin mengatakan ini. Tapi saya tidak punya keberanian masuk dalam hidupmu terlalu jauh & mengobrak-abrik benteng pertahanan yang kamu bangun selama ini. Cukup sudah, saya mengenalmu sejak 21 tahun lalu, ketika kamu masih bersamanya. Namun sampai hari ini kamu masih terus berdiri disana dalam diam. Kamu bahagia dengan yang kamu lakukan saat ini, namun ketika kamu merasakan sukses, kamu tertawa, lalu kamu mulai menyadari bahwa kamu tertawa sendirian ditengah keramaian. Kamu mulai menyadari bahwa ketika kamu sedang bahagia & sukses justru saat itulah kamu membutuhkan seseorang untuk berbagi.

Melarikan diri bukan cara terbaik untuk bersembunyi. Tapi saya tidak berhak menghakimi pilihan hidupmu. Lelaki, saya bercerita tentangmu yang jauh disana. Suatu hari nanti ketika kamu menemukan tulisan ini, kamu tahu, kamulah yang saya maksud. Berbahagialah karena bahagia bukan tindakan egois. 

Picture taken from: http://onemillionwallpapers.com/wallpapers-happiness-people-free-download-samsung-sm-g900a-galaxy-s5-samsung-gt-i9500-galaxy-s-iv/

06 July 2015

OUR SPECIAL NEED


Nahhhhh selesai baca ini: http://www.tanjungpinangpos.co.id/2015/118933/pertengahan-juli-galang-batang-aktif/. Tiba-tiba kepikiran aja yaaaaaa menuangkannya dalam bentuk tulisan. Mari dibaca dibaca, silahkannnnnn……

Sebagai orang awam, saya tidak mengerti banyak soal listrik. Jangankan ngerti listrik, pegang kontak listrik aja sering kali merasa cemas, ragu-ragu & takut. Alasan utamanya sangat wanita sekali, takut kesetrum hehehehe. Yaaa wajarlah lah ya listrik & pernak-perniknya itu bukan mainan kebanyakan perempuan alias wanita tidak ditakdirkan jadi tukang listrik. Well, setuju sajalah toh wanita & listrik seringkali tidak berjodoh. Namun untuk mengetahui kondisi apa yang sebenarnya terjadi di Tanjungpinang dengan seringnya mati lampu, menurut saya wanita pun mampu menjelaskan secara detail. Tidak perlu berjodoh dengan listrik hanya untuk menjelaskan bahwa ada hal yang sebenarnya terlewatkan dari kinerja kerja PLN Tanjungpinang. Entah bagaimana cara kerjanya sehingga supply listrik masih saja mejadi kendala yang sangat menggangu pembangunan & perkembangan kota ini. Coba dibayangkan yaaaa, dibayangkan lho ya, apa yang terjadi jika dihari raya ini supply listrik masih saja byar pret. Lagi terima tamu yang bersilahturahmi ke rumah tiba-tiba listrik padam. Sedang seru-serunya acara malam takbiran tahu-tahu sunyi senyap gara-gara aliran listrik terputus begitu saja.

Penjelasan utama orang nomor satu PLN Tanjungpinang sudah bisa ditebak kan yaaaa: “Maaf kepada seluruh masyarakat Tanjungpinang, mesin baru kami terbakar karena beban pemakaian listrik yang terlalu besar, untuk itu kami mohon agar masyarakat bisa menghemat pemakaian listrik dirumah. Matikanlah lampu-lampu yang memang tidak digunakan. Hemat listrik, maka kota kita akan terang benderang”. Well, kita seringkali dengan mudahnya menyalahkan customer/pelanggan karena menggunakan listrik secara berlebihan. Padahal kita lupa jika saja sosialisasi & kekuatan tim marketing diberdayakan secara maksimal hal seperti “penghematan listik” itu akan dengan sendirinya tertanam dalam pikiran pelanggan. Sosialisasi pernahkah? Mengiklankan penghematan listrik pernahkah? Lalu menuntut kami pelanggan untuk: "Yaaaaa, seharusnya tahu lah, kayak anak kecil aja perlu diingatkan". Tapi memang kenyataannya seperti itu. Kenapa perusahaan-perusahaan besar itu sanggup mengeluarkan dana ratusan juta hanya untuk sebuah iklan televisi, radio & billboard yang hanya ditayangkan paling lama juga 2 menit. Padahal yang diiklankan cuma obat sakit kepala, atau popok bayi. Mudah sih buat saya, karena pelanggan yang notabene masyarakat umum ini perlu selalu diingatkan bahwa dari sekian banyak produk yang ada pilihlah produk kami, karena kami menawarkan sesuatu yang berbeda. Coba perhatikan iklan rokok. Tanpa “pendidikan” mengenai bahaya merokok pun masyarakat sudah cukup hafal luar kepala bahwa merokok itu menyebabkan kerusakan pada tubuh manusia. Organ tubuh yang paling mungkin untuk mengalami kerusakan sangat parah adalah paru-paru. Namun perusahaan rokok toh tetap mencantumkan bahaya rokok pada setiap iklan & kemasan produk mereka. Kenapa? Ituuuu tadi, manusia "menuntut" untuk diberitahu berulang-ulang. Itu hal normal weceeeee, naluriah, terjadi dengan begitu saja. Sadar atau tidak, manusia itu sukaaaaaaa untuk diingatkan. Perhatian katanya, begitulah.

Menyalahkan pelanggan yang tidak bisa menghemat listrik bukan hal yang bijaksana. Karena pelanggan dimana-mana adalah raja. Mereka akan selalu berpikir, kami yang membayar, terserah kami mau digunakan seperti apa. Semakin banyak memakai listrik toh semakin banyak uang yang kami bayarkan setiap bulan, gak masalah, kami bayar kok. Nahhhhh, hal ini bisa disampaikan melalui sosialisasi, akan lebih membangun pemahaman kedua belah pihak, bukannnn. Komunikasikan dong dengan pelanggan apa yang menjadi kendala PLN Tanjungpinang. Saya rasa masalah akan mudah dicarikan solusinya jika saja pihak-pihak yang berkepentingan saling terbuka. Alih-alih sosialisasi, PLN Tanjungpinang aja seringkali sembunyi dibalik semua persoalan yang ada. Banyak hal yang bisa dijadikan ajang sosialisasi, PLN Tanjungpinang pasti punya tim marketing yang cukup mumpuni lahhhhh, yang bisa memikirkan cara jitunya.

Selain itu ada lagi nih yang menjadi beban buat saya, cieeee beban. Belajarlah untuk tidak selalu menyalahkan mesin & teknologi jika terjadi kerusakan. Mesin mannnnn, “Mesin lo kambing-hitamkan untuk masalah yang sebenarnya terletak pada SDM”. Malu lagi man, menyalahkan mesin, cuaca & benda-benda mati itu sebagai penyebab chaos yang terjadi. SDM tuhhhh perlu diupgrade, biar ilmunya bertambah. Nahhhh kalo ilmunya bertambah kan jadi bisa lebih memahami & berteman akrab dengan benda-benda mati itu. Sarana & prasarana pun perlu diperhatikan bukan. Jika meletakkan mesin-mesin itu begitu saja tanpa adanya perlindungan yang memadai, lama-lama rusak juga kan. Biarpun benda mati, tetap bo, diperlakukan secara lebih manusiawi akan membuat benda-benda mati itu seakan-akan punya 'nyawa' untuk bertahan lebih lama. Bangun dong perlindungan buat alat-alat itu, jangan dibiarkan begitu saja. Diletakkan disembarang tempat tanpa adanya perlindungan dari air hujan kek, matahari kek, petir kek, whatever lah. Intinya mesin-mesin itu harus diletakkan ditempat yang seharusnya, dijaga & dimaksimalkan daya kerjanya.

Nah kalo yang satu ini akan menjadi hal ketiga sebagai pelengkap penderita masalah PLN Tanjungpinang hehehehe. “Ayolahhhhh, come on guys, grow up mannnn, we are not kids”, yang jika dijelaskan 2x2 gak tahu jawabannya. “We are an adult, hallllllooooo” and “The most important thing is we’re having brain”. Gak adil rasanya selalu berkata “Jika kebutuhan listrik Tanjungpinang adalah sekian MW, sementara kami hanya punya sekian MW, jadi minus sekian MW, untuk itulah pemadaman listrik terpaksa kami lakukan secara bergilir”….. Dan tanggapan saya adalah “Buekkkkkk, mo muntah dengar penjelasannya”…. Itu bukan tugas kami sebagai pelanggan, bukannnn??? Sudah tugasnya situ kaleeee pak sebagai lembaga negara penyedia jasa yang mencarikan solusinya. Sudah tahu tohhhh kebutuhan listrik kota gurindam ini berapa? Ayuhhhhhh lah cari cara untuk memenuhinya. Kadang ye bo, buat saya pintar itu belum tentu cerdas. Cerdas itu sudah pasti pintar. Jangan mengkambinghitamkan pelanggan sebagai pelarian solusi yang tidak pernah kalian temukan selama ini. Yaaaa sutralah ya bapak-bapak, selamat berpikir yaaaa. Solusi itu yang kami nantikan sejak lama lho yaaaaa.

Akhirnya ini nihhhhhh efek baca berita pagi-pagi jadinya kebanyakan mikir hehehehe…..

25 June 2015

LAJANG ITU PILIHAN BUKAN?

Seringkali menjadi lajang itu bukan hal yang menyenangkan. Masih melajang di usia saya saat ini adalah sebuah keputusan, sebuah pilihan. Saya memiliki isi kepala yang berbeda dari kebanyakan orang Indonesia yang menjadikan menikah sebagai satu tahapan hidup yang ‘harus-mesti-kudu-wajib’ dilewati. Seakan-akan kiamat besok datang jika diusia tertentu seorang perempuan belum menikah. Sementara yang lainnya menganggap bahwa usia normal menikah adalah 20-an. Namun tidak buat saya. Sementara perempuan lain sibuk kebakaran jenggot belum menikah diusia 30-an, saya malah tenang-tenang aja. Karena memang menikah, entah bagaimana itu, bukan prioritas dalam hidup. Jika menikah bagi kebanyakan orang adalah melangkah ke kehidupan baru. Buat saya jangan coba-coba masuk kedalamnya jika kamu belum siap. Menikah atau tidak bukan big issue yang harus dibahas dalam acara kumpul-kumpul keluarga atau kumpul-kumpul alumni. Bukan karena issue selingkuh atau kekerasan rumah tangga yang membuat saya memiliki keputusan yang menentang arus. Buat saya jika menikah hanya untuk melegalkan aktivitas seksual dan berkembang biak, well, saya tidak tertarik. Jika menikah hanya untuk status dan perubahan nama dari nona menjadi nyonya, sama saya pun tidak tertarik.

Banyak sekali pasangan yang saya kenal menikah diusia muda, kemudian memutuskan untuk pisah yang kemudian disusul dengan bercerai, pun masih diusia yang cukup muda. Saya juga punya beberapa teman yang entah bagaimana ceritanya selingkuh dengan alasan udah gak sejalan lagi alias “sekarang mahhhh udah beda visi”. Saya juga bertemu dengan beberapa kenalan yang walaupun menyandang ‘gelar’ suami namun dengan mudahnya menyatakan cinta pada wanita lain dan mengajaknya menikah dengan alasan “Kamu tuhhhh beda banget sama istri saya yang cerewet dan suka ngatur, mau gak jadi istri kedua saya”. Saya juga sering bertemu para lelaki yang tiba-tiba datang eng ing eng entah kerasukan apa menyatakan cinta didepan hidung saya & “menikahlah denganku” padahal barusan juga ketemu, dengan alasan “Waktu tadi melihatmu, saya langsung tahu kamulah jodoh yang selama ini saya tunggu-tunggu”. Tapi bukan itu semua yang membuat saya tidak ingin menikah diusia “normal”.

Gak jarang juga lho lebel “Lo lesbi” langsung ditempelkan dijidat saya. Ohhh yeah terima kasih sodara-sodara. Well, keputusan saya, pilihan saya gak ada hubungannya sama sekali dengan rasa takut atau menyukai sesama jenis. Saya menyukai laki-laki itu sudah pasti. Ada pria yang selama beberapa tahun ini membuat saya jatuh cinta. Bukankah ini bukti otentik saya cukup “normal” hehehehe. Sulit ya jika hidup dilingkungan yang mengganggap bahwa hidup adalah: lahir, remaja, dewasa, menikah, punya anak, tua meninggal. Seakan-akan nih kalo dari sederetan itu ada yang belum dilewati langsung aja sticker “lo gak normal” nempel dijidat. Terus wajib gitu kemana-mana dibahas ke-lajang-an itu.

Jika saya memilih untuk menunda pernikahan memangnya kenapa? Toh gak akan bikin dunia kiamat lebih cepat kan. Ya iyalah menikah itu seharusnya kesiapan saya mengatakan “I Do”, lalu menyiapkan diri menghadapi semua konsekuensinya. Nah coba bayangkan jika kamu bilang “I Do” Cuma karena limited time lah, desakan orang tua lah, tuntutan kenormalan lah, konsekuensi? Yaaaa tetap aja lah tanggungjawab kita. “Don’t put yourself into gambling wars. Don’t put yourself beyond your maximal limits with unreasonable thoughts”.

Setiap manusia punya pilihan. Setiap manusia punya jalan hidup yang beda-beda. Terserah kalo kamu mo bilang jalan hidup yang kamu ambil sangat cocok untuk dirimu, tapi belum tentu untuk orang lain. Kita juga tidak bisa melawan insting, karena masing-masing kita suka atau tidak, dititik tertentu akan lebih sering memutuskan berdasarkan insting. Percaya aja padanya, dia mampu menyeleksi banyak kesalahan jika kita mau mendengarkannya. Berhentilah untuk memaksa orang lain. Jika kamu berhasil dalam pernikahan belum tentu orang lain akan mendapatkan hasil yang sama. Jika kamu gagal gak berarti juga orang lain akan selalu gagal kan. Saya belajar melepaskan diri saya dari hal-hal yang bukan urusan saya. Mau menikah diusia berapa pun seseorang, yaaaaa terserah, karena saya menyadari: “Heiiiii hidup yang dia jalani bukan hidup saya, jadi saya gak perlu terlibat dalam keputusan-keputusan atau pilihan-pilihannya. Saya juga belajar hal lainnya bahwa selama lajang atau menunda pernikahan tidak mengandung bahan peledak, saya gak perlu pusing lah berada disekitar para lajang & penunda pernikahan.



Well, bukankah lebih baik jika kita berpikiran lebih terbuka pada semua kemungkinan dan gaya hidup yang ada. Itu akan jauh lebih menyehatkan bukan?

22 April 2015

AS A HUMAN

As a human we're judging others easily without knowing the whole story.

As a human we're thinking we know better than others. We advises more, teaches more, talks more, in the name of "for your good sake". But, we forget to looked our way, our life and ourself back. Who are we made our life as an example to others without any kind of relationship or status? Freak enough judged people by their social media status or by their opinion.

As a human we think we can do everything. That's good, we should being an optimistic person. But sometimes optimistic and over self confidence is close enough, too close, no barrier at all. When we fingering someone we put one finger in their face, and we never realized that the rest of our fingers always staying in one point.... to fingering ourself. Think wisely before do anything, would be easy, rather than felling sorry for a whole life.

18 April 2015

MEMBERI ITU ADALAH KITA

Jangan memberi jika tak ingin.

Kata orang “latihlah dirimu untuk memberi”. Buat saya memberi itu gak perlu latihan lagi. Jika kamu ingin memberi, berilah. Jika tidak jangan lakukan. Memberi itu selalu punya alasan, selalu memiliki tujuan yang bersembunyi dibelakangnya. Jangan biarkan ada tuntutan yang mendahului jika ingin memberi. Lahhh sudah seharusnya kannnn sebagai seseorang yang memiliki segala, hidup berkecukupan bahkan lebih kita memberi? Mungin, buat kebanyakan orang berlaku prinsip itu. Tenang, sah-sah aja kok. Namun buat saya sekalipun kita adalaha seorang milyarder memberi itu bukan hal seharusnya *tadi*. Memberi sebuah keharusankah? Buat saya sih gak. Memberi sebuah kewajiban kah? Gak juga. Memberi sebuah perintah kah? Lebih gak deh. Lalu memberi itu bagaiamana, apa & mengapa?

Buat orang seperti saya, yang hidupnya tidak pernah mau berada dalam pusaran kebiasaan “normalnyaaa” memberi menjadi hal yang tidak wajib. Memberi bukan untuk mendapatkan hal lain sebagai gantinya. Memberi bukan untuk diingat sepanjang hayat & mengulangi terus-terusan seperti kaset rusak. Memberi bukan sesuatu yang jika dilakukan tangan kanan maka tangan kiri ingin meraihnya kembali. Memberi tidak perlu punya alasan untuk dihargai, memberi tidak perlu teori. Hukum memberi? Saya juga gak butuh itu. Memberi versi saya adalah ketika kita melihat lubang kosong diantara kebutuhan & ketidakberdayaan, lalu muncul dorongan yang sangat kuat dari dasar hati tanpa perlu mengkonfirmasinya dengan akal sehat & otak matematika kita, namun dengan segera menutupi lubang kosong itu.

Seringkali kita perlu alasan lah, sebab akibat lah, penjelasan detail lah, feedback lah, lalu mulai menghitungggggg semua hal yang akan kita dapatkan setelah memberi. Terserah sih bagaimana definisi orang lain tentang memberi. Buat saya jika ingin memberi maka berilah. Jangan pernah menyisakan jeda waktu diantara dorongan & logika. Seringkali nih yaaaa justru logika lah yang paling sering berkhianat. Sementara dorongan akan selalu setia ada disana untuk mencoba memunculkannya lain waktu. Logika itu baik, man, saya tidak sedang mengajak kalian memusuhi logika lho. Namun jika logika selalu mendapatkan tempat utama dalam hidup kita, coba tebak jadi manusia tanpa empati lah kita dibuatnya.

Memberi gak perlu status. Gak perlu nunggu "kita punya banyak lalu baru memberi". Saya sudah lamaaaaa sekali berhenti menilai pemberian. Jika orang memberi maka akan saya terima, tanpa menilai. Jeda diantaranya selalu akan merusak karakter. Lalu, logika saya tempatkan di garda depan. Ya iyalah gak mungkin juga menerima pemberian dari orang yang kita gak kenal kan. Lalu ketika giliran saya untuk memberi, logika akan saya silent dulu untuk sementara waktu. Lalu jeng, jeng, jeng tulus akan saya aktifkan yaaaa bahasa kerennya tulus mode on lah.

Tadi saya sudah bilang bukan bahwa memberi gak butuh status kan. Well, mo kita anak konglomerat kek, anak tukang becak kek, mo tabungan kita isinya berapa aja memberi gak ada hubungannya sama semua itu. Jangan pernah memaksa diri sendiri untuk memberi karena memberi:

Bukan sebuah kewajiban

Bukan sebuah keharusan

Bukan sebuah latihan

Bukan juga sebuah kebiasaan

Karena memberi seharusnya dijadikan sebuah karakter & gaya hidup. Well, jika kamu ingin memberi, gak perlu toleh kanan, kiri cukup dengan menundukkan kepala lalu berkomunikasi dengan hati nurani, disanalah tempat tinggal dorongan itu. Rumah terbaik bagi sebuah dorongan untuk memberi adalah yang biasa disebut orang hati kecil, namun saya lebih sering menyebutnya hati nurani.