Seringkali
menjadi lajang itu bukan hal yang menyenangkan. Masih melajang di usia saya
saat ini adalah sebuah keputusan, sebuah pilihan. Saya memiliki isi kepala yang
berbeda dari kebanyakan orang Indonesia yang menjadikan menikah sebagai satu
tahapan hidup yang ‘harus-mesti-kudu-wajib’ dilewati. Seakan-akan kiamat besok
datang jika diusia tertentu seorang perempuan belum menikah. Sementara yang
lainnya menganggap bahwa usia normal menikah adalah 20-an. Namun tidak buat
saya. Sementara perempuan lain sibuk kebakaran jenggot belum menikah diusia
30-an, saya malah tenang-tenang aja. Karena memang menikah, entah bagaimana
itu, bukan prioritas dalam hidup. Jika menikah bagi kebanyakan orang adalah
melangkah ke kehidupan baru. Buat saya jangan coba-coba masuk kedalamnya jika
kamu belum siap. Menikah atau tidak bukan big
issue yang harus dibahas dalam acara kumpul-kumpul keluarga atau
kumpul-kumpul alumni. Bukan karena issue selingkuh atau kekerasan rumah tangga
yang membuat saya memiliki keputusan yang menentang arus. Buat saya jika
menikah hanya untuk melegalkan aktivitas seksual dan berkembang biak, well,
saya tidak tertarik. Jika menikah hanya untuk status dan perubahan nama dari
nona menjadi nyonya, sama saya pun tidak tertarik.
Banyak
sekali pasangan yang saya kenal menikah diusia muda, kemudian memutuskan untuk
pisah yang kemudian disusul dengan bercerai, pun masih diusia yang cukup muda.
Saya juga punya beberapa teman yang entah bagaimana ceritanya selingkuh dengan
alasan udah gak sejalan lagi alias “sekarang mahhhh udah beda visi”. Saya juga
bertemu dengan beberapa kenalan yang walaupun menyandang ‘gelar’ suami namun
dengan mudahnya menyatakan cinta pada wanita lain dan mengajaknya menikah
dengan alasan “Kamu tuhhhh beda banget sama istri saya yang cerewet dan suka
ngatur, mau gak jadi istri kedua saya”. Saya juga sering bertemu para lelaki
yang tiba-tiba datang eng ing eng entah kerasukan apa menyatakan cinta didepan
hidung saya & “menikahlah denganku” padahal barusan juga ketemu, dengan
alasan “Waktu tadi melihatmu, saya langsung tahu kamulah jodoh yang selama ini
saya tunggu-tunggu”. Tapi bukan itu semua yang membuat saya tidak ingin menikah
diusia “normal”.
Gak
jarang juga lho lebel “Lo lesbi” langsung ditempelkan dijidat saya. Ohhh yeah
terima kasih sodara-sodara. Well, keputusan saya, pilihan saya gak ada
hubungannya sama sekali dengan rasa takut atau menyukai sesama jenis. Saya
menyukai laki-laki itu sudah pasti. Ada pria yang selama beberapa tahun ini
membuat saya jatuh cinta. Bukankah ini bukti otentik saya cukup “normal”
hehehehe. Sulit ya jika hidup dilingkungan yang mengganggap bahwa hidup adalah:
lahir, remaja, dewasa, menikah, punya anak, tua meninggal. Seakan-akan nih kalo
dari sederetan itu ada yang belum dilewati langsung aja sticker “lo gak normal”
nempel dijidat. Terus wajib gitu kemana-mana dibahas ke-lajang-an itu.
Jika
saya memilih untuk menunda pernikahan memangnya kenapa? Toh gak akan bikin dunia
kiamat lebih cepat kan. Ya iyalah menikah itu seharusnya kesiapan saya mengatakan
“I Do”, lalu menyiapkan diri menghadapi semua konsekuensinya. Nah coba
bayangkan jika kamu bilang “I Do” Cuma karena limited time lah, desakan orang
tua lah, tuntutan kenormalan lah, konsekuensi? Yaaaa tetap aja lah
tanggungjawab kita. “Don’t put yourself
into gambling wars. Don’t put yourself beyond your maximal limits with unreasonable
thoughts”.
Setiap
manusia punya pilihan. Setiap manusia punya jalan hidup yang beda-beda.
Terserah kalo kamu mo bilang jalan hidup yang kamu ambil sangat cocok untuk
dirimu, tapi belum tentu untuk orang lain. Kita juga tidak bisa melawan insting, karena masing-masing kita suka
atau tidak, dititik tertentu akan lebih sering memutuskan berdasarkan insting. Percaya aja padanya, dia mampu
menyeleksi banyak kesalahan jika kita mau mendengarkannya. Berhentilah untuk
memaksa orang lain. Jika kamu berhasil dalam pernikahan belum tentu orang lain
akan mendapatkan hasil yang sama. Jika kamu gagal gak berarti juga orang lain
akan selalu gagal kan. Saya belajar melepaskan diri saya dari hal-hal yang
bukan urusan saya. Mau menikah diusia berapa pun seseorang, yaaaaa terserah,
karena saya menyadari: “Heiiiii hidup yang dia jalani bukan hidup saya, jadi
saya gak perlu terlibat dalam keputusan-keputusan atau pilihan-pilihannya. Saya
juga belajar hal lainnya bahwa selama lajang atau menunda pernikahan tidak
mengandung bahan peledak, saya gak perlu pusing lah berada disekitar para
lajang & penunda pernikahan.
Well,
bukankah lebih baik jika kita berpikiran lebih terbuka pada semua kemungkinan
dan gaya hidup yang ada. Itu akan jauh lebih menyehatkan bukan?