Baiklah, sore ini mari kita bahas topik yang sangat dekat dengan kita. Tulisan yang telah lama ingin saya release, namun baru hari ini bisa menyelesaikannya. Well, setahun ini berkutat dengan bisnis kuliner membuat saya belajar banyak hal. Memulai segala sesuatunya dari bawahhhhhhh sekaliiiiii. Yuk kita mulai, lanjutttttt. Sebagai manajer, kita diharapkan menjadi banyak hal: Well, menara kekuatan, pemimpin dan pembaharu, tukang sulap. Iya tukang sulap yang mampu menyulap kenaikan gaji, sumber daya dan staf tambahan dengan satu sapuan topi tanpa mempengaruhi omset yang ada, terkadang menjadi tante/om yang baik, juga menjadi penyedia bahu tempat mencurahkan kesedihan, motivator yang dinamis, hakim yang tegas namun adil, diplomat, politisi, pelindung, penyelamat, dan orang suci. Yang terakhir yang paling saya benci :( ….
Kita harus bertanggung jawab terhadap sekelompok orang yang mungkin bukan pilihan kita, mungkin juga bukan orang yang kita sukai karena sifat & perilakunya, bisa jadi yang berbeda 180’ dari kita alias gak punya titik kesamaannya sama sekali, bisa jadi juga yang malah gak suka sama kita. Namun walau bagaimanapun toh kita diwajibkan memberi mereka hari kerja yang layak. Bertanggung jawab terhadap keselamatan dan perawatan fisik, emosi, serta mental mereka. Harus memastikan mereka tidak melukai diri sendiri apalagi saling melukai. Harus pula memastikan mereka bekerja sesuai dengan peraturan perusahan. Harus memahami hak kita, hak mereka, hak perusahaan dan hak asasi manusia. Ufffhhh banyak bukan.
Sebagai manajer yang bertanggung jawab terhadap sebuah tim, kita mesti membina dan menggali hasil terbaik dari tim yang ada. Tim ini suatu waktu dapat bertingkah seperti anak-anak, tapi kita tidak bisa menghukum mereka begitu saja atau mungkin bahkan memecat mereka tanpa alasan yang kuat. Di lain waktu, mereka bertingkah seperti remaja yang labil. Yaaaa tidur larut malam lah, tidak masuk kerja gara-gara jagain pacar lah, menolak melakukan pekerjaan karena sakit gigi lah sekalipun masuk kerja, pulang kantor lebih cepat karena tetangga kawinan lah, sengaja melanggar peraturan dengan makan product display lah -padahal mereka tahu itu gak boleh-. Pokoknya hal-hal semacam itu yang jika diperusahaan lain akan menjadi sesuatu yang tidak boleh, namun entah kenapa di restoran alasan-alasan seperti ini selalu dijadikan senjata untuk kepentingan pribadi. Sepertinya jika kerja di restoran alasan-alasan ini wajar aja. Begitu minta ijin harus dikabulkan, kalo gak langsung tuh bibir pada maju 5 cm kayak bemper bajaj.
Kita tidak hanya bertanggung jawab atas orang, tetapi juga atas anggaran, disiplin, komunikasi, efisiensi, masalah hukum, masalah gosip pekerja, kubu-kubu pekerja si ini ngegang sama si anu, si anu gak suka sama si ini, masalah kesehatan dan keselamatan, masalah personalia, pensiun, tunjangan kesehatan, cuti melahirkan, cuti pernikahan, hari libur, waktu istirahat, waktu liburan, laporan waktu kerja, pengumpulan daftar kehadiran, jadwal kerja, standar industri, latihan kebakaran, P3K, udara segar, pendingin ruangan, tempat parkir, alat tulis kantor, bahkan hal remeh temeh seperti teh, kopi dan gula. Ohhhh man dalam mimpi terburuk saya sekalipun belum pernah bermimpi akan berurusan dengan teh & kopi apalagi gula *jediggggg*
Kita sebagai sang manajer juga diharapkan menjadi zona penyangga antara manajemen yang lebih tinggi dan seluruh karyawan. Omong kosong mungkin muncul dari tingkat atas, pemaksaan terjadi dari sana sini, intrik yang dipaksakan tapi dibuat semulus mungkin, tapi toh kita harus mendengarkan tanpa mengeluh dan tertawa, lalu menterjemahkannya pada tim yang ada, lalu memutar otak semaksimal mungkin mengusahakan agar tim kita memakluminya sekalipun itu omong kosong. Terkadang nih yaaaa sebagai manajer, kita harus bertikai dengan departemen lain, tim lain, klien, bos senior, dewan direksi, pemegang saham, dan departemen keuangan. Kita juga harus memberikan alasan bagi kebijakan ‘tidak ada kenaikan gaji tahun ini’ atau ‘tidak ada bonus tahun ini’, sekalipun hal ini menurunkan semangat tim. Lalu berusaha memutar otak untuk mencarikan alternatif lainnya bagi kesejahteraan semuanya. Kita harus merahasiakan hal yang diketahui tentang pengambil-alihan atau bahasa kerennya take over, merger, akuisisi, transaksi rahasia, pembelian saham perusahaan dalam jumlah yang berpengaruh, dan hal-hal semacam itu, sekalipun isu terdengar di mana-mana dan kita terus aja ditanya-tanya oleh tim.
Selain itu, kita diharapkan menjadi standar, artinya kita harus tepat waktu, berada di depan, berpenampilan cerdas, bekerja keras, tekun, pulang larut, datang lebih awal, kurang istirahat tapi harus tetap fit , objektif, bertanggung jawab, penuh perhatian, berpengetahuan, dan pemain sirkus yang sempurna. Jungkir balik memikirkan cara kerja yang lebih baik bagi semua karyawan. Harus selalu hadir. Haram hukumnya jika manager sampe sakit. Pergi meninggalkan tempat baru selangkah langsung telp berdering menanyakan ini & itu yang notabene hal gak terlalu mendesak tapi harus memberikan jawaban segera. Benar-benar sulit. Kita pun perlu menerima bahwa sebagai manajer, gak selamanya apa yang kita lakukan atas nama kebaikan bisa dengan mudah diterima begitu saja, malah lebih sering dicemooh. Kita bisa diejek habis-habisan, dikata-katain, disumpah-sumpahin, bisa dijuluki dengan sebutan tertentu, atau dicaci-maki sebagai pekerja administratif yang menghalangi dan manipulatif. Kita bahkan mungkin dinilai tidak efektif dan berlebihan dalam menjalankan tugas oleh staf, atasan, pemegang saham, dan/atau teman-temannya si staf. Belum lagi hal-hal kecil menyangkut konsumen. Dengan semua ini tetepppp dong kita diharapkan melakukan pekerjaan dan memberikan hasil terbaik.
Tapi semua itu justru membuat kita akan lebih memahami banyak hal. Ada hal yang bisa begini dan begitu. Ada juga hal yang wajib hukumnya untuk yang ini dan itu. Satu tahun ini banyak hal yang saya pelajari. Duduk diposisi manajemen memang bukan hal baru buat saya. Namun bekerja dengan orang lokal memang hal baru. Benturan-benturan budaya & kebiasaan menjadi big issue saat pertama kali saya memutuskan untuk berkarir di dunia kuliner. Namun setelah dijalani ternyata banyak hal baru yang justru saya temukan yang akhirnya membuat saya belajar lebih banyak. Orang selalu bilang enak yaaaa jadi manager. Well, saya cuma bisa bilang: “Enak gaknya itu relatif ya”. Namun buat saya menjadi manager itu adalah ........ jika kita mampu membuat sesuatu dari tidak ada menjadi ada, dari tidak paham menjadi mengerti, dari tidak bisa menjadi mampu. Manager adalah seorang pioneer yang harus rela menginvestasikan waktu & tenaganya untuk melahirkan successors yang kurang lebih sama seperti dirinya. Seorang manager adalah orang yang paling berbahagia ketika tim nya mulai mampu menemukan potensi mereka & hidup didalamnya. Seorang manager adalah seseorang yang selalu ada ditempat yang sama ketika orang-orang yang ada dibawahnya akan selalu terbang tinggi mencapai puncak potensi mereka. Seorang manager adalah orang yang akan selalu tersenyum lebih lebar ketika orang-orang yang ada dibawahnya mampu meraih impian & keinginan mereka.
1 comments:
Xixixixi kalo mbak jadi manager saya jadi karyawannya. Posisi jadi manager emang serba salah plus banyak tantangan. Dulu sebagai pekerja saya milih untuk engga berkomunikasi intens sama manager krna menganggap doi adalah orang paling memakutkan sedunia
:D
Post a Comment