Seringkali kita memaksakan diri. Merasa terlalu bisa melakukan sesuatu padahal ujung-ujungnya kita juga yang harus menanggung resiko malu karena tidak berhasil. Beberapa waktu lalu seorang teman mengirimkan sms ini: Ne, would you be my (English) assistance to train governor’ employees for 4 months (3 times a week)? Setelah berdiskusi dengan beberapa orang saya memutuskan untuk menolak tawaran itu. Lho kok?
Bagi teman saya mungkin sms atau ngobrol kita selama ini bisa dijadikan tolak ukur bahwa saya bisa berbahasa inggris. Karena memang saya selalu menggunakan bahasa asing itu dengan alasan untuk memperlancar saja. Biasa toh, menggunakan bahasa inggris saat ngobrol dengan teman. Buat saya itu bukan indikasi bahwa saya bisa mengajar bahasa inggris. Lancar berbahasa asing bukan berarti bisa mengajar.
Mengajar butuh kemampuan tersendiri. Tidak semua orang yang bisa berbahasa inggris dengan baik dan benar artinya bisa mengajar juga. Saya punya konsep berpikir yang beda. Dibutuhkan kapasitas tersendiri untuk bisa berdiri didepan kelas dan berbicara kepada murid. Apalagi jika penghuni kelas itu adalah pejabat ekselon. Well, ada beban mental dan moral tersendiri. Bukan karena posisi mereka adalah pejabat lebih kepada tanggungjawab untuk membuat mereka BISA.
Teman saya menawarkan bahwa saya tidak perlu menjalani tes dengan rekomendasi darinya. Dia berpikir, sangat tahu kemampuan bahasa asing saya. Hmmm, Tawaran bagus bukan. Diterima sebagai asisten karena ketebelece. Dan saya TIDAK SUKA itu. Kalau hanya ngobrol biasa saja atau diinterview sekalipun saya bisa. Saya bahkan akan menyarankan teman saya untuk menginterview jika saat itu saya bersedia untuk menjadi asistennya.
Kenapa? Karena saya tahu kemampuan saya. Saya yakin bisa lolos tes itu. Hanya tes bos, kenapa gak bisa. Trus masalahnya dimana? Ngajar bo, ngajar. Kamu pikir semua orang yang bisa ngobrol dalam bahasa inggris trus bisa ngajar juga. Oke! Kamu bisa ngobrol dalam bahasa indonesia? Bisa. Lancar? Lancar dong kan eke lokal. Kalo gitu mau gak kamu jadi asisten bahasa indonesia saya untuk melatih orang-orang amerika?
?!?
Kamu pikir ngajar bahasa indonesia cuma '”ini budi, ini ibu budi doang”. Basi, itu sih jaman kuda gigit besi. Sekarang kudanya gak doyan besi doyannya berlian. Oke, lupakan. Jadi cara mengajar bahasa indonesia di SD jadul itu sudah tidak up to date lagi. Jeng, mas, om, tante mengajar butuh keahlian. Bahkan sebelum mengajar para guru harus mendapat pelatihan khusus dulu. Mengajar punya guide line sebagai standar yang disahkan berlaku secara nasional.
Kalaupun akhirnya kita bisa menemukan cara mengajar yang beda dari biasanya. Itu hanya kreatifitas si guru sendiri. Mungkin karena jam terbangnya *burung kali* sudah banyak. Tapi toh tidak akan keluar dari standar baku yang sudah ada. Buku yang sama dengan guru lainnya. Kerangka pelajaran yang sama dengan yang lainnya. Coba tanyakan Dewi Huges si pemilik home schooling itu dengan guru sekolah biasa yang kamu kenal. Bukankah materi pelajarannya sama?
Jadi buat saya, kita bisa berbahasa dengan baik dan benar. Mo bahasa lokal kita kek, atau bahasa asing, tapi itu tidak bisa dijadian patokan bahwa kita semua bisa menjadi guru secara formal. Saya rasa semua pekerjaan pasti lah harus disertai dengan minat. Profesi guru ada karena si guru memang punya minat untuk mengajar. Bukan karena dia tidak punya pilihan lain selain mengajar. Buat saya semua pekerjaan butuh kapasitas tersendiri.
Hal ini pun berlaku untuk seorang trainner. Saat ini saya hanya bisa berbicara bahasa inggris tapi saya tidak bisa menjadi guru atau trainner. Bahkan dibidang yang saya kuasai sekalipun, akuntansi lah emang kamu pikir apa. Belum tentu saya bisa mengajar atau train orang yang tidak bisa menjadi bisa. Untuk kamu temen maaf saya menolak tawaran itu dan penolakan ini murni karena masalah kapasitas.
3 comments:
SETUJU
seoarng guru haruslah berskill
apalagi SD
karena dasar pembentuk dari kecil!!! thx mbak infonya :D
I 100% agree!
Ine, I always enjoy reading your writing. It's mind-refreshing ^_^
kenapa tidak dicoba dulu mbak? justru disitu tantangannya
Post a Comment