Hari ini dirayakan sebagai harinya Kartini. Dimana-mana nih pemandangannya sama, kebaya dan sanggul. Sebenarnya apa yang kita rayakan 21 April setiap tahunnya ya, kebaya dan sanggulnya Kartini atauuuuuu semangat perjuangannya beliau, ayoooooo. Toh kebaya & sanggul memang trendnya jaman Kartini. Dulu mana ada lagi jins dan kaos oblong dipakai wanita. Lahhhh kalo sekarang, disesuaikan lah ya sehingga kita tidak hanya sibuk pilah-pilih kebaya dan sanggul yang cucok ditambah ber-makeup ria dari subuh, lalu justru melupakan makna sesungguhnya 21 April.
Kalo buat saya nih ya yang diperjuangkan Kartini itu adalah 'kesempatan' bukan cara berpakaian kita, kaum wanita. Kartini memperjuangkan kesempatan yang tidak didapatkan oleh para wanita di jamannya. Wanita yang selalu dinomorduakan bahkan dipandang tidak berfungsi selain ditempat tidur & dapur saja. Kartini merasakan kebutuhan yang lebih besar dari hanya sekedar dua hal itu. Ada dunia di luar sana yang patut untuk dicoba. Dunia yang menawarkan informasi dan kemajuan secara intelektual. Dunia yang sebenarnya mampu membawa perubahan terhadap pola pikir dan kebebasan dari keterbatasan.
Kartini mendapati bahwa wanita Jawa saat itu terbelenggu oleh tradisi. Sementara wanita Indonesia terbelenggu dengan budaya. Keharusan melakukan ini dan itu. Tidak boleh melakukan begini dan begitu. Selalu mengatasnamakan 'kamu kan anak perempuan' dalam setiap wejangan dan nasehat. Selalu ada perbedaan yang sangat mencolok dalam setiap pengambilan keputusan. Selalu ada jurang pemisah yang cukup besar antara keinginan dan kenyataan. Selalu pada akhirnya wanita menjadi orang yang nerimo apapun keputusan yang dipilihkan untuknya. Selalu tidak berdaya menyuarakan kemauannya, karena itu dianggap tabu dan terlarang.
Kesempatan untuk maju seharusnya menjadi hak waris wanita juga. Wanita memiliki hak waris istimewa bahkan sejak lahir. Hak waris yang tidak bisa ditukar dengan apapun juga. Hak yang membuat wanita merasa sempurna dan lengkap. Ya, saya sedang membicarakan hal yang sama dengan yang kalian pikirkan. Rahim & melahirkan. Hanya semua makhluk yang berjenis kelamin wanita kan yang memiliki 'kantung' rahim dalam perutnya. Melahirkan memang hak waris wanita. Namun kesempatan untuk memilih anak seperti apa yang harus dikandung & dilahirkan kedunia ini yang tidak dimiliki para wanita di jamannya Kartini. Hak warisnya hanya sebatas kepemilikan rahim. Jenis kelamin dan lain sebagainya, menjadi milik suami dan keluarga besarnya. Paham maksud saya. Baiklah.
Kartini melihat hal-hal seperti itu sebagai keterbatasan. Kartini melihat itu sebagai belenggu. Kartini melihat itu sebagai sesuatu yang menghambat kemaksimalan kaumnya. Kartini memahami betul bahwa wanita memiliki kekuatan yang tersembunyi. Bahwa wanita pun memiliki potensi. Bahwa wanita bisa menjadi apapun yang diinginkan hatinya. Kartini melihat bahwa dunia wanita tidak hanya seluas dapur & kamar tidurnya saja. Dunia diluar sana juga membutuhkan sentuhan wanita. Kartini melihat jika sekali saja wanita menyentuh dunia maka kesempatan lebih besar akan terbuka selamanya.
Well, inilah yang saya pahami dari perjuangan Ibu kita Kartini. Jalan itu telah diretas oleh sang pioneer. Kesempatan telah terbuka lebar untuk para wanita Indonesia berkarya. Mari kita memilih dengan bijaksana apa yang bisa kita sumbangkan bagi dunia. Potensi apa yang bisa kita kembangkan untuk membuat dunia semakin berwarna. Untuk semua wanita Indonesia, selamat hari Kartini. Teruslah kobarkan semangat Kartini itu dalam hati kita.