12 April 2009

SAYA CEMAS

Saya memang pencinta alam sejak kecil. Climbing, hiking dan camping adalah kesenangan saya. Saat anak-anak perempuan lain bermain dengan boneka barbie saya lebih senang berjalan melintasi hutan dan gunung. Jadi ingat pertama kali merambah hutan liar, sebung pereh namanya. Hutan itu belum terjamah tangan manusia. Saya dan teman-teman menjadi orang pertama yang membuka jalan disana. Sepanjang perjalanan badan saya jadi sasaran empuk hewan melata.

Lintah-lintah itu menempel dikaki. Menjadi gemuk oleh darah saya. Kurang ajar saya kecolongan. Padahal ayah telah menitipkan minyak tradisional sebagai penangkal lintah. Hanya saya lupa memakainya sebelum perjalanan dimulai. Akhirnya seorang teman melepaskan lintah-lintah itu dari kaki saya. Hanya sayang seekor lintah mencengkramkan sengatnya terlalu dalam sehingga tidak bisa begitu saja di cabut. Saya pun harus rela ketika puntung rokok mampir ke kulit. Trus? Sakit tauuuuu.

Rasa sakit itu terbayar oleh keindahan alam yang terbentang didepan mata. Sumpah, indah banget. Rasa sakit akibat ulah lintah hanya sementara. Bisa hilang dengan hitungan hari. Tapi keindahan yang tertangkap mata dan terekam alam bawah sadar ini tidak akan pernah bisa hilang. Sampai sekarang keinginan untuk kembali menjelajahi hutan sebung pereh masih ada. Namun ayah bilang hutan itu sekarang tidak seindah waktu pertama kali saya kesana.

Menuruni tebing landai yang dibawahnya terbentang keindahan lain. Jejakkan kaki dan lihatlah betapa genangan air ini sempurna membasahi kedua kaki saya. Hanya sampai setinggi pergelangan kaki tapi sensasinya mengirimkan sinyal kedamaian sampai ke hati. Saya berhenti sejenak, memandang sekeliling dan mulai memejamkan mata. Ya Tuhan indah sekali. Jika tidak karena tarikan seorang teman saya akan terus ada disana sampai benar-benar merasa puas baru pergi.

Hutan, gunung dan laut sanggup membuat saya betah berlama-lama disana. Menikmati hembusan angin, menyaksikan matahari terbenam dan menunggu dengan tidak sabar kala matahari mulai menampakkan diri. Melihat kecantikannya seakan-akan saya bisa mendengar sapaan: Selamat pagi dunia. Uhhh, bahkan matahari pagi begitu bersahabat dengan bumi. Seringkali alam mampu menghipnotis saya dengan keangunannya. Saya terpesona.

Namun sayang, hutan, gunung bahkan laut saat ini telah rusak oleh tangan-tangan tidak bertanggungjawab yang mengatasnamakan “kehidupan yang lebih baik”. Hutan dibakar dengan sengaja sehingga menimbulkan pencemaran udara oleh asap tebal hasil pembakaran. Anak-anak dan penderita asma harus menderita ketika menghirup udara yang telah tercemar oleh zat-zat sisa pembakaran yang bisa merusak paru-paru. Semua makhluk hidup pun kehilangan udara bersih.

Lihat saja laut yang biasanya bisa saya nikmati karena keindahannya sekarang tercemar oleh sampah. Sejauh mata memandang terlihat puluhan sampah berenang disana. Pedagang kaki lima telah menjadikan laut sebagai tempat sampah mereka. Apa susahnya sih membuang sampah di tempatnya. Jadi tidak perlukan mencemari keindahan laut. Entah bagaimana keadaan ikan dan makluk laut lainnya. Mungkin saja mereka sulit bernafas akibat pencemaran ini.

Kijang (5)  Kijang (6)

Sudah liat gambar diatas. Saya sempat syok melihat kenyataan itu. Mungkin kalian mengira ini adalah deretan rumah penduduk dan disebelah sananya adalah danau kecil. BUKAN. Bangunan berbentuk rumah itu adalah kantor PDAM dan danau kecil itu adalah waduk air bersih warga kota Kijang yang telah mengering. Dulunya danau itu luas sekali. Coba perhatikan foto pertama bukankah disisi kirinya terdapat tanah yang tidak berair sama sekali. Padahal dulunya banyak sekali air disana.

Ini hanya salah satu dampak ketika kita membiarkan hutan digunduli, laut dicemari dan gunung tidak terawat. Alam tidak bisa menjaga diri dari tangan-tangan serakah. Kita lah yang wajib menjaga alam tetap bersih dan indah. Bukankah kita semua menumpang hidup pada alam. Coba bayangkan jika alam ini rusak. Bukankah kerusakkan itu akan kita alami juga? Bukankah sudah seharusnyalah kita berdamai dengan alam agar hidup menjadi lebih baik?

Saya cemas melihat fenomena dimana orang berlomba-lomba menebangi hutan dan merusak keindahannya. Hutan tidak lagi menjadi rumah yang nyaman bagi para hewan dan pencinta alam. Hutan bukan lagi jadi tempat berlindung mata air-mata air. Padahal hidup kita tidak bisa lepas dari air bersih. Bagaimana hutan bisa memproduksi waduk jika kita terus mengangkat senjata peperangan padanya. Bagaimana alam ini bisa sejuk jika kebakaran hutan ternyata disengaja.

Apa kabar ikan-ikan dilaut? Mereka sama merananya seperti hutan. Apa kabar kabut di gunung mereka seakan enggan menampakkan diri lagi. Bahkan udara dingin hanya bisa megintip dari balik punggung gunung. Mereka semua enggan, tidak mau bermain lagi karena mereka mulai dipaksa untuk mundur. Kasihan bahkan alam pun tidak lagi nyaman untuk saya. Alam sudah tidak bisa lagi dinikmati dengan bebas.

Alam yang sekarang bisa dinikmati adalah dengan uang. Ingin menikmati keindahan alam maka saya harus membayar mahal untuk itu. Hmmm, saya merindukan alam dimana saya bebas menikmatinya, menjelajahinya dan menantikan sapaan sinar matahari pagi. Seandainya semua tangan tidak lagi merusak alam maka krisis yang terjadi sekarang ini bisa diminimalkan. Ya krisis air bersih, ya krisis pemanasan global semua tidak perlu terjadi bukan. Jika saja kita bisa berdamai dengan alam.

3 comments:

Jenny Jusuf said...

"Ingin menikmati keindahan alam maka saya harus membayar mahal untuk itu."

Jadi inget sebelnya gw gara2 ga berhasil liat Sunset di Borobudur, karena untuk bisa masuk ke sana sebelum matahari terbit bayarnya muahal. 300rb bok, untuk liat matahari yang diciptain Tuhan buat semua orang ;-)

ezra said...

apa perlu diterapkan hukum adat lagi bwt menjaga eksistensi hutan? krn memang terbukti efektif, masyarakat sekitar ikut melestarikan hutan, walopun krn takut dihukum adat yg berat atau dikutuk penunggu hutan. hehe..

jenny: heh, serius lo, jen? 300ribu?

ine said...

Jenny: Itu masih mending jeng. Di Lagoi Beach bisa sampe jutaan. Ntar deh kalo lo dateng lagi kesini g bawa lo kesana

Ezra: Hukum adat seringkali malah lebih kejam lho om (hehehehehe). Mending pake iklan tiap hari aja di media. Dengan catatan iklannya gratis.