06 October 2012

PERMEN PENGGANTI RUPIAH

Cuma di Tanjungpinang nih ketika belanja di supermarket, swalayan atau mini market uang receh sebagai kembalian berbentuk permen. Dan yang lebih mencengangkan lagi hal ini malah seperti tren di kota ini. Coba bayangkan jika uang kembalian saya delapan ratus rupiah dan semuanya dikembalikan dalam bentuk permen. Meradanglah saya. Sejak kapan mata uang Indonesia berubah jadi mentos, Wuzz, vitacimin, vitamin C dan entah apa lagi. Dan hal ini dilakukan dengan sadar alias sebenarnya ada tuh uang receh dilaci si kasir tapi berhubung karena konsumen tidak protes maka senanglah kasir. Mau tau kenapa?

Di Supermarket besar seperti di jalan Ir. Sutami ityu para kasir membentuk semacam koperasi. Jangan bayangkan koperasi yang satu ini semacam koperasi simpan pinjam atau sejenisnya. Koperasi hanya nama saja. Pelaksanaannya justru seperti bank bagi hasil. Setiap bulannya jika koperasi untung maka keuntungan itu akan dibagi rata untuk semua anggota, ya kasir-kasir itu tadi. Darimana sumber keuntungan itu? Permen. Hah? Iya permen yang konsumen ambil sebagai ganti uang kembalian yang jika dikumpulkan nih mungkin dalam satu tahun bisa buat belanja bulanan satu bulan lagi kali. Gak percaya. Hitung saja sendiri.

Sementara di Swalayan malah lebih parah. Coba deh sekali-kali belanja di swalayan yang terletak tidak jauh dari pamedan itu. Saya jamin kamu jantungan. Ya itu tadi delapan atau sembilan ratus rupiah uang kembalian konsumen akan berubah bentuk jadi lima atau enam permen, beda rasa pula. Atau jika mau ditukar dari rasa jeruk ke rasa anggur juga boleh. Cccckkkk, bahkan uang kembalian pun by request. Coba saja menolak. Khusus di swalayan ini, muka kasir akan berubah super duper jutek sambil bilang ‘gak ada koin’ dengan nada suara ngajak berantem. Gak ada koin? Alasan klise. Masa beberapa kali belanja disitu jawabannya gak ada koin melulu.

Saya kok jadi merasa dibodohi ya sebagai konsumen. Bukankah sebenarnya pengeluaran kita jadi bertambah jika menerima kembalian permen. Sudah keluar uang untuk belanja masih ditambah dengan –secara tidak langsung- membeli permen yang sebenarnya tidak kita butuhkan dan anggarkan. Bukankah kebanyakan permen-permen itu malah kita masukkan di kantong belanjaan dan lupa dikeluarkan -sangking kecilnya- yang akhirnya malah masuk tong sampah bersamaan dengan plastik kresekan. Atau malah kita biarkan di mobil atau kantong celana berhari-hari akhirnya dibuang juga. Kalaupun dimakan berapa banyak sih paling juga 2, sudah cukup.

Alasannya selalu sama: sulit mencari uang receh. Trus ngapain ada bank? “Ya gitu deh mbak tukar uang receh di bank juga susah, selalunya gak ada”. Sudah tau susah kenapa gak dibulatkan saja nominalnya ke pecahan limaratus rupiah atau seribu gitu. Lebih gampangkan. Saya malah jadi berpikir sebenarnya konsumen pun bisa kok membodohi tempat-tempat perbelanjaan yang mem-permen-kan uang receh itu. Salah satunya konsumen membayar dengan kartu kredit atau kartu debit. Toh harga yang kita bayarkan sama persis dengan harga yang tertera di komputer kasir. Jadi konsumen dan produsen pun sama-sama untung.

Konsumen untung dengan membayar sesuai harga belanjaan sementara produsen untung dari setiap barang yang dibeli konsumen. Tapi kalaupun harus membayar dengan uang tunai jalan satu-satunya ya menolak permen sebagai uang kembalian. Saya selalu melakukan ini. Dan berhasil, ternyata setelah saya menolak kasir dengan sigap mengeluarkan uang recehan. Iya dong itu kan hak saya sebagai konsumen. Coba perhatikan di Singapura dan Malaysia, yang dekat saja dulu. Apa pernah uang kembalian dalam bentuk permen? Tempat perbelanjaan disana selalu menyediakan uang bahkan sampai pecahan terkecil satu ringgit atau satu Sin dollar. Ya kan.

Konsumen pun bisa cerdas. Banyak cara pembayaran yang ditawarkan bank atau lembaga-lembaga keuangan lainnya yang justru pada akhirnya bisa dijadikan solusi demi menghindari ‘kenakalan’ kasir-kasir tempat perbelanjaan. Sebagai konsumen kritis itu penting. Coba saja jika semua warga Tanjungpinang mau dengan tegas menolak permen sebagai uang kembalian saya rasa kita akan mulai melihat lagi uang-uang receh seratus dan lima ratus rupiah di dompet. Atau bahkan uang receh duapuluh lima rupiah. Jadi ingat kakak saya punya koleksi sekaleng uang koin duapuluh lima rupiah. Dulu uang ini sangat mudah ditemui. Sekarang? Uhhhh, entahlah.

5 comments:

Natazya said...

iya! di bandung juga sama aja kok... apalagi di mini market begitu...

sbetulnya ini bisa dilaporin ke perlindungan konsumen lho... tapi orang lebih memilih ga mau repot aja... padahal bayangkan kalau dari satu orang aja dia simpen 50 rupiah dan satu hari ada 100 atau bahkan 1000 *apalagi kalau 24jam* costumer, untungnya gede bener!!!

ya... pengen juga deh bikin kartu flash itu... biar ga repot sama receh hehe

salam kenal bu btw :D

Jenny Jusuf said...

coba kasirnya ketemu gue... atau vinny ;-D

ine said...

Natazya: Salam kenal juga natazya. Makanya qta sebagai konsumen harus lebih cerdas lagi ya.

JJ: Justru jangan bo ntar naluri muncul pula, tiba2 g ngeliat lo udah ngegantiin tuh kasir. Kesian bo..hehehehe.

ezra said...

temen saya kalo blanja pasti bawa uang sampe receh trkecil. jadi bayar dgn uang pas. spertinya dia ga mau orang ngambil untung dari dia. hehe..

ine said...

Setuju, cuma hari gini susah lho nyari uang recehan begitu. Bahkan bank2 pun malas menyediakan uang kecil begitu.