Dia adalah bidadari kecil saya. Pertama kali melihat wajahnya hari Minggu tanggal 11 Mei 2008 jam 02.09 minggu lalu, hati Saya benar-benar bahagia. Bidadari cantik ini lah yang akan selalu menjadi kebahagiaan saya nantinya. Namanya :Fransisca Divasta Liefde Ricardo Ayal. Cukup panggil bidadari kecil ini dengan nama Cika. Dia memanggil saya dengan sebuatan tante atau sekali-sekali papanya yang adalah kakak saya menyebut saya dengan panggilan mama. Ya saya telah menjadi mama bagi bidadari kecil ini. Telah sembilan bulan saya menantikan kehadirannya. Heboh sendiri malah menyiapkan segala sesuatu untuk menyambut kehadirannya. Segala macam ingin saya beli. Bahkan buku. Bah, dia kan masih bayi mana bisa membaca! Saya dong yang akan mendongeng buat dia.
Senyumannya cantik sekali. Wajahnya yang cantik membuat siapapun betah berlama-lama menggendongnya. Suara tangisannya akan selalu terdengar jika dia sedang lapar. Ketika kenyang dia akan selalu tenang bermain sendiri. Sejak kelahirannya selalu ada keceriaan di rumah saya. Seakan semua penghuni rumah rela menghentikan aktifitas hanya demi mengajaknya bermain.
Hari pertama ketika bidadari kecil ini dibawa pulang orang serumah dibuat kebingungan dan stress. Dia menangis terus tidak mau berhenti. Bahkan ketika kami telah merasa sangat kelelahan pun dia tetap saja menangis. Tidur sebentar bangun dan menangis lagi. Terus seperti itu sepanjang malam. Kami semua mengira dia kepanasan AC pun dipasang. Tapi tetap saja menangis tidak berhenti. Ketika pagi setelah mandi dia tertidur dengan nyenyaknya. Sang perawat yang datang untuk memandikan bidadari kecil ini berasumsi kemungkinan besar bidadari kecil ini tidak cocok dengan susu kaleng pertama yang diminumnya. Mau bagaimana lagi ASI sang mama belum keluar.
Melihatnya menangis hati saya jadi miris sekali. Tidak tega rasanya melihat bidadari kecil ini harus menderita merasakan sakit perut. Kebahagian saya seketika lenyap mendengar tangisan itu. Syukurlah ASI itu segera keluar sehingga bidadari kecil ini bisa mendapatkan asupan makan terbaik. Terima kasih Tuhan.
Kemarin saya menemani dia ditempat tidurnya. Mati lampu yang belakangan ini seringkali terjadi di kota saya membuat saya tergesa-gesa masuk ke kamarnya. Saya takut bila terbangun bidadari kecil ini akan menangis karena terkejut. Bidadari kecil ini memang terbangun tapi dia tersenyum-senyum sendiri dalam keremangan lampu emergency. Terus menerus tersenyum sampai saya tertawa geli melihatnya. Senyum itu manis sekali. Melihat senyumnya saya bahagia sekali. Bagaimana bayi yang baru berusia 5 hari bisa tersenyum saat mati lampu. Padahal saya saja selalu mengeluh setiap PLN sedang tidak bersahabat.
Memandang bidadari kecil ini ketika tidur selalu menimbulkan rasa dihati saya. Saya jadi teringat pengorbanan ibu ketika saya seusia bidadari kecil ini. Di zaman 'purba' itu mana ada fasilitas seperti sekarang ini. Bahkan ayah saya selalu bercerita saat hamil ibu selalu duduk menjahit popok, bedong, gurita dan baju-baju saya. Saat itu belum ada satupun toko yang menjual perlengkapan bayi seperti sekarang ini. Kalau musim hujan tiba maka ayah harus menaruh baju, popok, gurita dan bedong saya diatas lampu strongkeng yang sekarang sudah sangat sulit ditemukan penampakannya. Ayah sampai terkantuk-kantuk menunggui segala atribut diatas lampu itu sampai kering. Padahal ayah tetap harus bekerja keesokkan harinya. Tapi saat ayah berceritapun saya tidak mendapati nada penyesalan atau pun tuntutan balas jasa atas pengorbanannya. Bahkan ketika saya bersilang pendapat dengan mereka pun mereka tidak pernah mengungkit deretan pengorbanan yang telah mereka lakukan dulu.
Saya tidak pernah sadar dengan begitu banyaknya pengorbanan orangtua saya ketika saya kecil sampai sekarang malah. Tangisan saya selalu membuat mereka kehilangan rasa kantuk mereka. Ketika saya menginginkan mainan yang dipajang di toko mereka membelikannya dengan mengorbankan keinginan untuk membeli baju baru buat mereka sendiri. Ayah pernah berkata pada saya: setiap orangtua akan melakukan apa saja demi kebahagian dan keinginan anak-anaknya.
Saya pernah ikut membantu teman kantor menjagai ibunya yang sama sekali tidak bisa bergerak akibat jatuh. Kata-kata protes selalu keluar dari sang ibu yang mencela semua hal yang telah dilakukan oleh anak-anak dan suaminya. Dan teman saya pun mengeluhkan kondisi kecerewetan sang ibu ketika kami dalam perjalanan pulang ke apartemen. Teman kantor saya sampai menangis, dia tidak mengerti kenapa sang ibu tidak bisa menghargai pengorbanannya. Bahkan dialah yang menanggung semua biaya perawatan harian sang ibu. Dan itu bukan jumlah yang sedikit, teman. Saya tau karena saya selalu mengikuti perkembangan sang ibu termasuk melirik kuitansi setiapkali teman kantor saya ini mengeluarkan dompet. Perasaan telah melakukan yang terbaik buat sang ibu tercinta membuatnya selalu sedih dan kecewa jika sang ibu tetap saja merespon dengan celaan. Setiapkali mendengar teman kantor saya ini mengeluh tentang ibunya saya langsung teringat sepertinya saya juga pernah kenal seseorang yang selalu mengeluh seperti dia. Siapa ya? Ya ampun saya ingat orang itu adalah saya.
Rasa malu merambat masuk dihati saya. Tidak seharusnya saya bersikap mengeluh pada orangtua saya. Walaubagaimana pun apa yang saya lakukan saat ini tidak akan pernah sebanding dengan apa yang mereka lakukan. Mulai dari menjagai kandungan dimana saya bisa tumbuh dengan sehat. Memastikan kebutuhan nutrisi saya terjamin. Dan ketika saya telah lahirpun. Pengorbanan orangtua saya malah lebih besar lagi. Melakukan semua hal terbaik demi tumbuh kembang saya. Menjamin masa depan saya agar selalu mendapat semua yang terbaik.
Ketika saya sadar dari lamuanan, bidadari kecil ini telah tertidur dengan pulasnya dan lampupun telah nyala kembali. Bidadari kecil yang baru berusia 5 hari ini telah memberikan saya pelajaran berharga. Bahwa merawat dan membuat orangtua selalu tersenyum bangga bukanlah suatu kewajiban tapi itu merupakan suatu kebahagiaan. Bahagia rasanya bila bisa membuat orangtua tercinta selalu bangga memiliki anak seperti saya.
0 comments:
Post a Comment