Namanya Yuni, mahasiswi semester sekian *maap saya lupa* di jurusan bahasa inggris STIA di kota saya. Sudah hampir sebulan ini dia bekerja di rumah saya. Tepatnya membantu saya mengurus rumah. Kesibukan dan ehm kemalasan saya membuat pekerjaan rumah sudah tidak bisa terpegang lagi. Badan saya rasanya butuh istirahat lebih banyak *di mall, maksudnya * saat weekend. Saya butuh refreshing. Lima hari mengurusi ‘dompet’ dan weekend harus ditambah dengan pekerjaan rumah oh no cuapek deh.
Yuni sangat sederhana sekali tapi dia selalu berpakaian rapi padahal dia akan mengerjakan pekerjaan rumah tangga biasa di rumah saya. Selalu begitu sampai hari ini. Gadis yang sangat sederhana ini ternayata sangat rajin dan bersih. Saya menyukai hasil kerjanya. Saya ingin dia tetap bekerja di rumah saya tapi saya tidak pernah menganggapnya sebagai pembantu. Dia tidak sama dengan pembantu pada umumnya. Saya yang membedakannya! Dia seorang mahasiswi yang kebetulan orang tuanya bukanlah orang berada. Tekadnya untuk meneruskan kuliah membuat saya kagum padanya. Dia membuang semua gengsi dan rasa malunya untuk memperbaiki jalan hidupnya. Hari gene orang seperti Yuni sangat jarang. Lebih banyak minta ke orangtua iya. Gaji yang dia terima akan digunakan untuk membayar uang kuliah. Cukup? Iya dong kuliah di STIA tidak semahal Trisakti. Kok tau?? Pasti dong saya pernah tanya pada Yuni. Mendengar berapa uang kuliah yang harus dia bayar setiap semester membuat saya prihatin. Bukan pada nominalnya. Lebih kepada perjuangannya.
Dulu waktu saya kuliah di Jakarta bahkan biaya hidup bulanan yang dikirimkan orangtua saya lebih besar dari uang semesteran Yuni. Itu pun setiap bulan rasanya tetap saja selalu kurang. Saya tidak sadar bahwa uang dengan jumlah segitu akan berarti sekali ditangan orang-orang seperti Yuni. Orang-orang yang selalu menggenggam erat mimpi-mimpinya walaupun keadaan mengkondisikan TIDAK MUNGKIN.
Modalnya hanya mimpi untuk masa depan yang lebih baik. Itu yang saya tangkap setiapkali saya mengajaknya ngobrol. Jangan salah dia tetap bisa bekerja walaupun sambil ngobrol dengan saya. Saya memberikan ‘kelonggaran’ padanya, tidak membebaninya dengan pekerjaan rutinitas. Tidak. Yang paling penting buat saya rumah selalu dalam kondisi bersih. Itu saja. Hal terberat yang harus dilakukan wanita bekerja adalah membersihkan rumah dan segala perabotan. Sekalipun tidak banyak tapi tetap capeknya luar biasa. Dan yang saya inginkan hanya ketika pulang dalam kondisi ‘sekarat fisik’ adalah melihat kerapian dan keindahan di rumah sendiri. Kamu sependapat dengan saya?
Saya belajar banyak darinya bahwa meskipun kondisi menariknya pada keadaan TIDAK MUNGKIN tapi Yuni tetap berusaha semaksimal mungkin dengan tetap memimpikan semua KEMUNGKINAN yang bisa dia lakukan. Optimis, pekerja keras, tidak gengsian. Membuat saya melihat sosok ini perlu di teladani. Usianya jauh dibawah saya tapi semangat bekerjanya melebihi yang saya miliki. Dia mendapatkan gaji yang jauh lebih kecil dari yang saya dapatkan tapi dia tetap melakukan pekerjaannya dengan hati bukan dengan mulut. Mungkin dia telah belajar bahwa bekerja sebaiknya dengan tangan karena itulah tujuan Tuhan menciptakan tangan –bukan dengan mulut-. Tapi seringkali saya justru bekerja dikantor dengan mulut. Sementara tangan malah saya karyakan untuk menuding orang-orang yang -menurut saya- tidak bekerja maksimal. Padahal jika saya duduk 5 menit saja saya pasti mendapatkan jawaban dari bekerjanya mulut saya itu. Bahwa saya sebenarnya tidak lebih maksimal dari pada orang-orang yang saya tudingin itu.
Yuni bekerja dengan tangannya dan mengunci mulutnya. Melakukan pekerjaannya dengan hati. Saya bekerja dengan mulut dan mengkaryakan tangan saya untuk tindakan sangat sangat ‘terpuji’ *menuding orang lain*. Sumpah saya belajar. Belajar dari kehadiran Yuni.
Terima kasih sekali saya telah belajar dari Yuni.
0 comments:
Post a Comment