Sumpah deh hari ini saya gembira banget. Sejak baca email dari seorang sahabat yang memang saya harapkan untuk bertemu. Aih… hanya membaca emailnya saja membuat saya seperti orang gila. Senyum-senyum sendiri. Beneran dia adalah seorang sahabat. Sumpah deh. Sudah satu tahun ini saya tidak pernah bertemu dia. HP? Ada dong. Memang kita selalu kok kirim-kiriman sms. Tapi rasanya itu belum cukup untuk membunuh keinginan bertemu saya. Oke deh, saya kangen sekali padanya. Berada didekatnya selalu membuat saya bisa menemukan hal-hal baru. Dia selalu membantu saya melihat apa yang tidak bisa saya lihat sebelumnya. Ya seperti kompas lah. Ketika jalan saya mulai ‘oleng’, dialah orang pertama yang selalu mengingatkan saya. Sayang kami terpisah oleh lautan luas membuat saya harus berpikir ribuan kali untuk mehek-mehek padanya ketika masalah seakan-akan tidak pernah berhenti. Dia sangat mengerti saya. Selalu menyediakan telinganya jadi gosong, bersabar demi saya. Dia selalu ada disaat saya butuh atau tidak butuh pendapat. Iya, dia memang seperti itu. Kebaikan hati, ketulusan jiwa yang selalu dia tunjukkan bukan palsu, bukan juga pura-pura. Dia tulus. Dan selalu tulus.
Saya sangat menghargai kebersamaan kami. Secara jarak yang pisahkan kita adalah ‘sibuk’. Eit, jangan bilang saya asal. Pekerjaan yang ‘capek deh’ banyaknya dan belakangan harus rela –yang sebenarnya gak rela- berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain, bahkan negara lain membuat saya merasa persahabatan ini mulai terasa sangat berharga. Saya ingin sekali berjanji padanya untuk bisa meluangkan waktu saya. Sedikit saja pun oke untuk bersama dia. Tapi benar-benar sulit, ehm…. Susah. Ketika dia bertanya jawaban saya itu itu saja sibuk. Maap ini sibuk beneran. Saya punya banyak pekerjaan yang sudah ‘kangen’ ketemu saya setiap harinya. Satu saja terbengkalai maka saya harus siap-siap kerja dua kali lipat lebih keras keesokan harinya. Pekerjaan ini benar-benar menyita waktu saya. Tapi saya tetap ingat kok pada janji saya padanya. Ketika pekerjaan ini lebih ringan saya akan meluangkan waktu bersamanya. Ehmm, bersama blog-nya, maksudnya.
Masa sih?? Apa iya saya sesibuk itu. Padahal di kantor saya punya asisten dan seorang sekretaris yang siap sedia membantu saya. Shuuutttt…. Dia bukan sekretaris pribadi saya tau. Jangan bilang-bilang ya… Saya hanya meminjamnya dari departemen Finance & Accounting. Dari pada dia hanya mengurusi departemen itu saja yang semua pekerjaan saya & asisten saya yang menanganinya. Lebih baik saya karyakan dia. Biar kelihatannya dia repot begitu. Oh Tuhan saya baru sadar betapa liciknya saya selama ini. Maap Sheila.
Saya sendiri bingung apa iya ya saya sesibuk itu sampai mengirim email atau sekedar telepon pun tidak sempat. Kalo saya bilang tidak sibuk kok kesannya saya malah terima gaji ‘buta’ ya.
Waktu itu selalu ada. Tidak pernah berubah. Tapi kemudian saya menyadari prioritas sayalah yang mulai mengalami perubahan. Oke waktunya pengakuan dosa, hiks. Ketika banyak sekali ganjalan dalam otak yang tidak bisa saya ceritakan kepada orang lain -Ya namanya juga rahasia- saya mencari sahabat saya. Eit, jangan salah dia pun begitu. Hmmm terkesan membela diri ya. Ternyata saya yang lebih sering mengganggunya dengan cerita-cerita gak penting saya itu. Gak penting? Bagaimana penting kalo suatu hari saya meneleponnya malam-malam hanya untuk bilang saya tadi berhasil gol-in proyek kantor. Apa coba pentingnya buat dia tahu tentang gol-golan itu. Itu sudah tugas saya. Coba apa jadinya kalau sampai proyek-proyek yang saya pegang tidak pernah menghasilkan keuntungan untuk perusahaan, bagaimana coba? Bantu saya membayangkannya, plis. Nah, ketika ada sedikit waktu saja disela-sela makan siang saya atau perjalanan pulang ke rumah malah saya efektifkan buat –saya jadi malu, bilang gak ya- tidur. Maap, charge energi. Padahal kalau saya bisa lebih meluangkan waktu 30 menit saja buat sahabat saya. Pasti dia akan tersenyum. Pasti dia akan bahagia. Coba katakan manusia mana yang tidak butuh perhatian. Biarpun kecil perhatian tetaplah sebuah penghargaan. Sebagaimana saya senang ketika membaca email sahabat saya. Pastilah diapun akan senang jika saya mengiriminya email dari mencuri-curi waktu saya yang katanya sibuk itu. Kok berasa jadi tidak adil ya. Sahabat yang selalu ada disaat saya butuhkan. Sementara saya belum tentu ada disaat dia membutuhkan. Saya jadi merasa bersalah.
Kamu tau apa yang saya lakukan selesai membaca emailnya. Saya langsung mengirimkan reply. Wah sungguh suatu kemajuan di dunia perkamusan saya. Weitz, perkamusan *Garing.com*. Bener kok. Saya langsung mengirimkannya sebuah balasan. Bercerita malah. Tenyata ketika mata saya tergoda untuk melihat pergelangan tangan kiri saya. Hey, tidak butuh waktu 30 menit untuk melakukannya. Saya hanya memberikan 10 menit untuk itu. Ah, jadi malu padanya. Padahal hanya 10 menit saja. Saya jadi ingat 10 menit itu bisa saya curi dari waktu saya tidur dimobil. Atau menunggu client yang –sering sekale- terlambat. Atau setelah jam makan siang. Iya deh, saya seharusnya bisa. Hanya butuh kemauan berkorban di hal yang lain untuk ‘menjadi’ sahabat.
Saya sudah bilang kan kalau saya langsung me-reply email sahabat saya tadi. Udah kan? Harusnya seperti itu ya… Berpikir bahwa pekerjaan adalah hal terpenting dibandingkan persahabatan adalah salah. Maap, sempat terlintas seperti itu. Tapi sumpah itu dulu. Sekarang? Hey, sekarang sudah tidak lagi dong. Yang benar saja memangnya bersedia kehilangan sahabat.
Ini bagian pentingnya, halo halo ini bagian pentingnya… Apapun saya, bagaimanapun juga saya. Terima kasih sekali telah menghargai persahabatan ini. Kamu, yang jauh disana telah membuat saya merasa paling beruntung di dunia ini karena memiliki kebaikan dan ketulusan hatimu. Saya mau bilang saya sangat bersyukur memilki kamu sebagai sahabat. Saya tidak akan menjadi saya yang sekarang tanpa dukungamu. Doa-doamu yang begitu tulus telah mengetuk pintu kesuksesan saya. Kamu bagian dari saya ‘yang saat ini’. Kamu tahu saya sudah tidak sabar betemu denganmu secepatnya. Saya ingin berada di dekatmu, membuat saya berarti.
Geisye, JJ, Hannah, Louie, Agung, Santy kalian lah itu.
0 comments:
Post a Comment